Jumat, 12 Juli 2013

struktur penyusunan laporan laba rugi perusahaan jasa menurut PSAK 1

Apakah laba rugi perusahaan jasa ada harga pokok penjualannya?” tanya Mas Unyu (adminnya JAK) kemarin. Saya ingin share jawabannya di sini, siapa tahu ada diantara pembaca JurnalAkuntansiKeuangan.com (JAK) memiliki pertanyaan yang sama—sehingga kemanfaatannya (mudah-mudahan) menjadi lebih luas.
Pertanyaan ‘apakah-perusahaan-jasa-menyajikan-harga-pokok-penjualan-pada-laporan-laba-ruginya’ ini, tergolong klasik; sangat sering saya dengar atau baca, sejak 10 tahun yang lalu hingga saat ini—khususnya di kalangan akuntan dan pegawai accounting pemula yang bekerja di perusahaan-perusahaan.
Saya tidak tahu persis, mengapa masih banyak yang bingung antara menyajikan atau tidak menyajikan harga pokok penjualan, pada laporan laba rugi perusahaan jasa. Untuk sementara, saya memperkirakan karena sampai saat ini standar akuntansi keuangan kita (SAK) tidak mengatur hal ini secara khusus dan rinci.
Sehingga, rasanya wajar kalau Mas Unyu, yang tergolong pemula, masih bingung. Dan sangat mungkin masih banyak Mas Unyu-Mas Unyu lainnya di luar sana. Itu sebabnya mengapa saya luangkan waktu untuk menulis artikel ini, di tengah-tengah kesibukan menjelang tutup buku.
Saya dedikasikan artikel ini khusus untuk pembaca JAK yang mengalami situasi yang sama seperti Mas Unyu: bingung antara menyajikan atau tidak menyajikan harga pokok penjualan pada laporan laba-rugi perusahaan jasa.

Jawaban Singkatnya

Mungkin anda sibuk, sehingga butuh jawaban singkat.
Sebelum menulis artikel ini, saya sudah coba googling, browse kemana-mana, untuk mendapat jawaban pasti atas pertanyaan dalam judul tulisan ini.
  • Jika saya ranking dan cari modusnya, jawaban yang paling banyak muncul (di blog-blog dan forum-forum) adalah: “TIDAK ADA HPP PADA PERUSAHAAN JASA”—tanpa disertai penjelasan yang memadai (dapat memuaskan penanya).
  • Menurut saya, bisa jadi “ADA” dan bisa jadi “TIDAK ADA” Harga Pokok Penjualan pada perusahaan jasa—tergantung bergerak di bidang jasa apa, tepatnya. Silahkan baca summary-nya di akhir tulisan ini.
Jika anda punya waktu agak panjang, saya ingin mengundang anda untuk mengikuti tulisan ini secara rinci, hingga tuntas. Namun sebelum lebih jauh mengenai Harga Pokok Penjualan pada perusahaan jasa, ada baiknya jika kita lihat terlebih dahulu: bagaimana Laporan Laba Rugi disajikan, menurut PSAK 1—khususnya mengenai penyajian “beban” (costs and expenses).

Penyajian Laporan Laba Rugi (Khususnya “Beban”) Menurut PSAK1

PSAK 1, paragraf 97 s/d 102, menyebutkan bahwa, entitas (=perusahaan) menyajikan analisis “beban”—yang diakui dalam laba rugi—dengan menggunakan 2 metode pengklasifikasian:
1. Klasifikasi berdasarkan “Sifat Beban” – Pada paragraf 100 disebutkan bahwa, entitas menyajikan klasifikasi beban berdasarkan sifatnya (misal: penyusutan, pembelian bahan baku, biaya transportasi, imbalan kerja, dan biaya iklan). Konon, metode ini lebih mudah diterapkan (namun kurang mampu menyajikan informasi secara handal dan relevan), karena tidak memerlukan adanya alokasi beban menurut klasifikasi fungsional. Contoh penyajiannya (dikutip dari PSAK 1):
Pendapatan                                                                         = XXX
Pendapatan lainnya                                                         = XXX
Perubahan atas persediaan barang jadi-
dan barang dalam proses                               = XXX
Bahan baku yang digunakan                          = XXX
Beban imbalan kerja                                         = XXX
Beban penyusutan dan amortisasi             = XXX
Beban lainnya                                                      = XXX
Total beban                                                                         = (XXX)
Laba sebelum pajak                                                         = XXX
2. Klasifikasi berdasarkan “Fungsi Beban” – Paragraf 101 menyebut ini dengan istilah “metode fungsi beban” atau “metode biaya penjualan”. Menggunakan metode ini, beban diklasifikasikan bedasarkan fungsinya sebagai bagian dari biaya penjualan atau, misalnya, biaya aktivitas distribusi atau administratif. Sekurangkurangnya, menurut standar yang sama, entitas mengungkapkan “biaya penjualan” secara terpisah dari beban-beban lainnya. Contoh penyajian Laporan Laba Rugi dengan menggunakan metode ini (dikutip dari PSAK 1), adalah sbb:
Pendapatan                  = XXX
Beban penjualan        = (XXX)
Laba bruto                   = XXX
Pendapatan lainnya  = XXX
Beban distribusi         = (XXX)
Beban administratif  = (XXX)
Beban lainnya             = (XXX)
Laba sebelum pajak  = XXX

Catatan Khusus Dari Saya

1. Metode kedua lebih banyak digunakan – Menurut pengamatan saya, kebanyakan perusahaan (terutama yang menerapkan sistim persediaan perpetual) menggunakan metode yang kedua. Rupanya, ini memang lebih rekomendasikan oleh PSAK 1, karena dianggap lebih mampu menyajikan informasi yang relevan kepada pengguna laporan keuangan, dibandingkan metode pertama.
2. Mana “Harga Pokok Penjualan (HPP)”-nya? – Jika tidak cukup update, mungkin anda mencari-cari elemen “Harga Pokok Penjualan” dan tidak menemukannya pada kedua contoh di atas. Dalam PSAK terbaru (PSAK nomor berapaun), istilah “Harga Pokok Penjualan” sudah tidak digunakan lagi, diubah menjadi “Beban Pokok Penjualan”. Jika anda baca PSAK 1, anda tidak akan menemukan pembahasan khusus mengenai bagaimana Beban Pokok Penjualan (alias Harga Pokok Penjualan) seharusnya disajikan dalam Laporan Laba Rugi. Karena memang tidak ada.
3. Mana elemen “Biaya Penyusutan, Biaya Gaji, Biaya Administrasi, Biaya Lain-lain”? – Bertahun-tahun belajar akuntansi, tentu anda sudah sangat lekat dengan penggunaan kata “biaya”. PSAK yang baru sudah tidak (atau sangat jarang) menggunakan kata “biaya”. Baik biaya dan beban, pada PSAK yang baru, hanya disebut “beban.” Tidak tahu persis apa alasannya, tetapi saya memperkirakan itu dilakukan untuk mengurangi kerancuan makana dan penggunaan antara kata “beban” (yang dulu sering dianggap sepadan dengan “cost”) dengan kata “biaya” (yang dulu dianggap sepadan dengan “expense”).
Satu pertanyaan yang cukup mengganjal, menurut saya, yaitu: mengapa PSAK tidak membahas, secara khusus dan rinci, mengenai tatacara penyajian harga pokok penjualan?
Entah anda, bagi saya pertanyaan ini cukup menganggu, dan penting untuk dijawab. Bahkan saya menganggap jawaban atas pertanyaan ini bisa jadi modal dasar untuk memahami mengapa bahasa PSAK, kerapkali, sulit diterjemahkan ke dalam pekerjaan para akuntan yang bekerja di dalam perusahaan (bukan akuntan eksternal).

Mengapa Harga Pokok Penjualan (HPP) Tidak Diulas Rinci Dalam PSAK?

Maaf, saya masih menggunakan istilah “Harga Pokok Penjualan” (HPP) karena yakin sebagian besar pembaca belum terbiasa menggunakan istilah “Beban Pokok Penjualan”, dan saya tidak mau pembaca dibingungkan oleh istilah.
Kembali ke pertanyaan di atas: mengapa PSAK tidak mengulas, secara khsusu dan rinci, mengenai tata cara penyajian HPP?
Yang paling tahu jawabanya sudah pasti Dewan Standar Akuntani Keuangan (DSAK) kita, bukan saya atau anda. Tetapi saya memandangnya seperti ini:
  • Pertama, Laporan Keuangan dibuat untuk kepentingan para pihak di luar perusahaan (pemegang saham, calon pemegang saham, kreditur, dan ditjen pajak). Para pihak di luar perusahaan ini, dalam PSAK, disebut sebagai “pengguna laporan keuangan”—sedangkan manajemen perusahaan dianggap sebagai “bukan pengguna”, melainkan “pembuat laporan” (istilah literaturenya “pembuat asersi”).
  • Kedua, PSAK disusun untuk satu tujuan saja, yaitu: melindungi kepentingan “pengguna laporan keuangan”—supaya laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan bisa memberi informasi yang andal dan relevan bagi mereka (bukan bagi orang dalam perusahaan itu sendiri). Tak lebih dan tak kurang.
  • Ketiga, saya memperkirakan, PSAK menganggap bahwa, “pengguna laporan keuangan”—yang nota benanya adalah pihak luar perusahaan—tidak membutuhkan penyajian harga pokok penjualan secara rinci, cukup disajikan seperti dalam contoh.
Dari ketigas asumsi dasar di atas, bisa kita lihat dengan jelas mengapa bahasa PSAK lebih sering (bahkan selalu) ditujukan untuk para akuntan eksternal. Perspektif yang digunakan oleh PSAK adalah perspektif luar perusahaan. Semua pembaca PSAK dianggap sebagai akuntan eksternal (bukan internal perusahaan). Itu sebabnya, mengapa PSAK sering membingungkan bagi pihak internal perusahaan.
Saran saya (untuk akuntan internal perusahaan): ketika membaca PSAK, posisikan diri anda seolah-olah seorang akuntan eksternal yang samasekali tidak memiliki kepentingan terhadap urusan internal perusahaan. Dengan begitu, maka isi PSAK akan terasa lebih masuk-akal, sehingga menjadi lebih mudah dipahami.[/box_light]
Khusus mengenai rincian (termasuk penyajian) harga pokok penjualan pada laporan laba rugi, menurut hemat saya, oleh DSAK diserahkan kepada diskresi manajemen perusahaan—karena fungsinya lebih banyak untuk kepentingan analysis internal, dibandingkan eksternal. Bahasa kasarannya “Atur-atur sendiri lah di sana, yang penting andal dan relevan”.
Tentu hal ini bukan hambatan bagi para akuntan ektsernal, karena yang paling penting bagi akuntan eksternal adalah laporan keuangan yang sesuai standar akuntansi, yang melindungi kepentingan pihak luar perusahaan. Tetapi menjadi masalah bagi akuntan internal yang dituntut untuk menyajikan laporan keuangan sesuai standar akuntansi sekaligus bisa menjadi input pengambilan keputusan bagi manajemen—yang seringkali membutuhkan tingkat kerincian yang lebih.
Oke. Cukup pembahasan standarnya. Kita lupakan sejenak standar. Selanjutnya, mari kita fokus hanya pada persoalan utama: apakah laporan laba rugi perusahaan jasa, sebaiknya, ada harga pokok penjualannya atau tidak?

Anggapan Keliru (Dan Membingungkan) Terkait HPP dan Perusahaan Jasa

Ada 2 anggapan keliru dan cenderung membingungkan, sehubungan dengan Harga Pokok Penjualan dan Perusahaan Jasa, yang paling sering saya temukan:

1. Anggapan Keliru: Perusahaan Jasa Tidak Punya Persediaan

Saya masih ingat masa sekolah dahulu, banyak buku pengantar akuntansi yang menyebutkan bahwa:
Jenis perusahaan yang memiliki persediaan hanya perusahaan manufaktur dan dagang, sedangkan perusahaan jasa tidak punya persediaan
Anggapan ini cenderung keliru dan saaaaaaangat memibingungkan :) Mengapa?
Karena pada prakteknya, jenis perusahaan yang “murni jasa” bisa dihitung jari (misalnya: jasa konsultasi hukum, keuangan, pajak, manajemen, audit, penilaian aset/appraisal/aktuaria.) Selebihnya (mayoritas), TIDAK MURNI jasa, melainkan campuran “jasa+dagang”. Sayangnya, ketentuan kode kelompok usaha (KLU)—baik menurut ditjen pajak maupun departemen perindustrian dan perdagangan—tidak menggolongkan satu perusahaan kedalam dua kode jenis usaha berbeda. Misalnya:
  • Jasa Dokter – KLU nya “jasa dokter”, pada kenyataannya rata-rata dokter (terutama yang berpraktek di rumah) sekaligus dagang obat, sehingga usaha jasa yang satu ini punya persediaan obat.
  • Jasa Reparasai (elektronik, komputer, termasuk bengkel) – KLU nya tetap “jasa reparasi”, pada kenyataannya tidak murni jual jasa reparasi, melainkan sekaligus dagang suku cadang (sparepart), sehingga perusahaan jasa ini punya persediaan sparepart.
  • Jasa Penerbangan (maskapai) – KLU nya “jasa penerbangan” (maskapai), pada kenyataannya tidak murni jual jasa angkut penumpang, melainkan sekaligus dagang merchandise dari parfum, kaos, topi, hingga gantungan kunci, sehingga jasa yang satu ini juga punya persediaan merchandise.
  • Hotel/Resort/Villa/Hostel/Motel/Losmen – KLU nya “jasa akomodasi”, pada kenyataannya tidak murni jual jasa akomodasi, melainkan sekaligus dagang makanan dan minuman, snack, dan lain sebagainya, sehingga jasa yang satu ini juga punya persediaan barang
  • Dan masih banyak lagi lainnya—menurut saya mayoritas—yang TIDAK MURNI JASA
Simpulan: tidak benar bahwa perusahaan jasa tidak memiliki persediaan—tergantung jasa apa dulu. Menurut saya bahkan sebagian besar perusahaan jasa, sekarang ini, memiliki persediaan.

2. Anggapan Membingungkan: Tidak Ada Persediaan Berarti Tidak Ada Harga Pokok Penjualan

Apakah pernyataan ini salah?
Tidak salah, tetapi memerlukan penjelasan lebih rinci. Yang benar: harga pokok penjualan (HPP) adalah segala pengeluaran (bukan penggunaan persediaan saja) yang mempengaruhi barang/jasa yang dihasilkan, pada suatu periode.
“Mempengaruhi” dalam hal ini bisa jadi:
  • Membuat KUANTITAS barang/jasa yang dihasilkan menjadi naik/turun—sehingga pada akhirnya mempengaruhi naik/turunnya revenue yang dihasilkan; atau
  • Membuat KUALITAS barang/jasa yang dihasilkan menjadi naik/turun—sehingga pada akhirnya mempengaruhi naik/turunnya revenue yang dihasilkan.
Pertanyaannya: apa saja yang mempengaruhi output barang/jasa yang dihasilkan?
  • Persediaan – Besarnya penggunaan persediaan (bahan baku, penolong, dan barang jadi) yang sudah tentu mempengaruhi output barang yang dihasilkan.
  • Upah Buruh – Besarnya pengeluaran upah buruh (termasuk pegawai tak tetap) yang berpengaruh terhadap output barang/jasa yang dihasilkan.
  • Overhead – Besarnya pengeluaran-pengaluaran yang berpegaruh terhadap output barang/jasa yang dihasilkan, selain persediaan dan upah buruh
Jika saya formulasikan jadinya:
Harga Pokok Penjualan (HPP) = Persediaan Digunakan + Upah Buruh + Overhead
Itu kondisi idealnya. Pada prakteknya, banyak perusahaan yang tidak memiliki persediaan tetapi mengeluarkan upah buruh dan overhead, atau upah buruh saja, atau overhead saja.
Jika upah buruh dan overhead tidak diakui sebagai harga pokok penjualan, apakah kedua beban tersebut diakui sebagai biaya operasional—bersama-sama dengan biaya admin, office supplies, dan gaji pegawai tetap?
Tentu tidak, karena bagimanapun juga upah dan overhead bukan biaya opersional (biaya tetap)—besar kecilnya kedua beban tersebut terkait langsung dengan besar-kecilnya jasa yang diserahkan ke pelanggan.
Lalu diakui sebagai apa? Bingung kan? Ini yang jarang dibahas—sehingga masih menyisakan pertanyaan yang menggantung.
Berikut ini, bagi yang belum pernah dengar, saya perkenalkan “Biaya Penjualan” dan “Cost of Revenue”.

Biaya Penjualan (Bukan Harga Pokok Penjualan) dan Cost of Revenue

Entah mengapa, topik ini jarang dibahas—baik di buku-buku maupun di blog dan forum.
Jika kembali ke PSAK 1, khususnya paragraf 101, disana disebutkan:
Sekurangkurangnya, entitas mengungkapkan ‘biaya-penjualan’ secara terpisah dari beban-beban lainnya.”
Perhatikan kalimat di atas; disana disebutkan ‘biaya-penjualan’ (bukan ‘beban pokok penjualan’). Artinya, sebuah laporan laba-rugi, MINIMAL, menyajikan “biaya penjualan”—terlepas dari apapun jenis usahanya.
Dalam GAAP, ini disebut “Cost of Revenue” untuk perusahaan jasa, yang disajikan terpisah dengan biaya-biaya opersional seperti biaya administrasi, biaya office supplies, dan biaya gaji pegawai tetap. Bisa dibilang, cost of revenue adalah “cost of goods sold”-nya perusahaan jasa.
Pertanyaan: Apa saja yang masuk ke dalam ‘cost of revenue’?
Jawaban: semua pengeluaran yang terkait langsung dengan pembentukan dan penyerahan jasa. Ada-tidaknya pengeluaran ini dipengaruhi oleh ada-tidaknya jasa yang diserahkan. Besar-kecilnya pengeluaran ini terkait langsung denggan besar-kecilnya jasa yang diserahkan ke pelanggan, diantaranya:
  • Komisi penjualan jasa
  • Biaya transportasi untuk menyerahkan jasa (=”delivery cost’).
  • Sewa peralatan atau kendaraan yang timbul akibat aktivitas pembentukan dan penyerahan jasa
  • Upah/fee untuk pekerja lepas, tenaga ahli dan profesional yang dilibatkan dalam proses pembentukan dan penyerahan jasa.
Berikut ini saya sajikan beberapa contoh kasus:
Contoh Kasus#1. Perusahaan Jasa Reparasi – Anda memiliki perusahaan jasa reparasi komputer. Spare part dibeli oleh pelanggan sendiri langsung ke toko spare part, sedangkan perusahaan anda hanya mengerjakan proses reparasi saja. Tetapi anda menggunakan pegawai lepas (freelancer) yang anda bayar per proyek pekerjaan. Disamping itu, anda juga menyediakan uang penggantian bensin setiapkali pegawai lepas datang ke perusahaan anda atau ke tempat pelanggan. Nah, pengeluaran untuk membayar pegawai lepas ini—baik upah maupun uang bensinnya—adalah “Biaya Pendapatan Jasa” (cost of revenue).
Contoh Kasus#2.Perusahaan Jasa Ticketing/Travel Agent – Anda bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang jasa ticketing atau travel agent. Untuk menarik pelanggan perusahaan menyediakan layanan antar tiket dan antar jemput penumpang ke airport. Untuk aktivitas traveling, perusahaan mempekerjakan guide lepas yang dibayar setiapkali mengantar pelancong. Nah, pengeluaran untuk beli bensin setiapkali mengantar tiket dan setiap kali mengantar-jemput penumpang ke airport masuk ke dalam “Biaya Pendapatan Jasa” (cost of revenue). Demikian juga pengeluaran untuk membayar guide lepas, masuk ke ‘cost of revenue’
Contoh Kasus#3. Perusahaan Jasa Konsultasi Manajemen – Anda seorang akuntan yang bekerja di perusahaan konsultasi manajemen. Untuk klien yang tergolong skala besar, anda menyewa tenaga ahli/profesional tertentu yang dibayar per proyek. Untuk kebutuhan presentasi ke klien, perusahaan menyewa peralatan khusus yang harganya terlalu mahal untuk dibeli. Nah pengeluaran untuk membayar tenaga ahli/profesional dan sewa peralatan presentasi ini masuk ke ‘Cost of Revenue’.

Summary

Secara keseluruhan, bisa saya ringkas menjadi sbb:
  • PSAK tidak mengatur secara spesifik mengenai tatacara menyajian Harga Pokok Penjualan pada Laporan Laba Rugi. Sehingga tingkat detail penyajian HPP bersifat diskresi—diserahkan kepada kebijakan pihak manajemen, yang penting andal dan relevan.
  • PSAK tidak mengatur apakah perusahaan jasa sebaiknya menyajikan atau tidak menyajikan Harga Pokok Penjualan. PSAK 1 paragraf 101 hanya menyebutkan bahwa, entitas minimal harus menyajikan “biaya penjualan” yang terpisah dari biaya-biaya lainnya.
  • Mayoritas perusahaan yang masuk kelompok usaha (KLU) “Jasa”, pada praktenya tidak murni jasa, melainkan kombinasi jasa dengan dagang. Perusahaan jasa seperti ini, meskipun KLU-nya “jasa”, kenyataannya memiliki barang persediaan, sehingga sudah seharusnya menyajikan Harga Pokok Penjualan pada Laporan Laba Ruginya.
  • GAAP mengenal istilah “Cost of Revenue” yang disajikan terpisah dari biaya-biaya operasional, yang bisa dibilang sebagai “Cost of Goods Sold”-nya perusahaan jasa.
  • “Cost of Revenue” adalah segala pengeluaran yang terkait langsung dengan aktivitas pembentukan dan penyerahan jasa. Masuk dalam kelompok “Cost of Revenue” adalah: komisi penjualan jasa, transportasi, sewa, upah/fee pekerja lepas, tenaga ahli dan profesional, sehubungan dengan proses pembentukan dan penyerahan jasa.
Saya beraharap, dengan kehadiran artikel ini bisa menghilangkan keragu-raguan antara menyajikan atau tidak menyajikan harga pokok penjualan pada laporan laba rugi perusahaan jasa, minimal di kalangan pembaca JAK sendiri. Anda langsung bisa menentukan apakah perusahaan jasa yang anda tangani sebaiknya menyajikan harga pokok penjualan atau cukup biaya pendapatan (cost of revenue) saja. Selamat beraktifitas. Semoga sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar