Rabu, 04 November 2015

Proposal Pengaruh laba bersih dan arus kas operasi terhadap kebijakan Dividen

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah.
              
             Seorang investor dalam menginvestasikan dananya di pasar modal bertujuan untuk bisa memperoleh dividen atau untuk memperoleh capital gain. Dividen pada prinsipnya adalah keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada para investor. Sedangkan capital gain merupakan pendapatan dari selisih harga jual saham terhadap harga beli. Dividen memiliki risiko lebih rendah dari pada capital gain. Hal ini dikarenakan dividen diterima menurut dasar periode berjalan, sementara prospek realisasi keuntungan modal diperoleh dimasa, artinya untuk memperoleh capital gain harus berani untuk berspekulasi bahwa harga saham yang akan dating lebih besar dari pada harga saham pada waktu pembelian sehingga dividen lebih baik dari pada capital gain (Atmaja, 1994 : 287).
              Masalah dalam kebijakan dividen mempunyai dampak yang sangat penting bagi para
investor maupun bagi perusahaan yang akan membayarkan dividennya. Pada umumnya para
investor mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraannya yaitu dengan
mengharapkan pembagian dividen maupun capital gains. Di lain pihak, perusahaan juga
harus memberikan kesejahteraan yang lebih besar kepada pemegang sahamnya. Tentunya ini
akan menjadi unik karena kebijakan dividen adalah sangat penting untuk memenuhi harapan
para pemegang saham terhadap dividen dan disatu sisi juga tidak harus menghambat
pertumbuhan perusahaan. Jadi, melalui pemberian dividen perusahaan dapat mentransfer
kekayaannya kepada pemegang saham (Rasyid, 2001 : 53).
           Keputusan untuk memberikan dividen kepada pemegang saham melibatkan dua pihak
yang berbeda kepentingan yaitu perusahaan dan investor. Perusahaan ingin agar laba yang
dibagikan kepada dividen dalam jumlah yang kecil sehingga sebagian besar laba dapat
ditahan dalam perusahaan. Laba ditahan merupakan salah satu sumber dana yang paling
penting untuk membiayai pertumbuhan perusahaan. Namun dipihak lain investor ingin
memperoleh dividen yang besar (Rasyid, 2001 : 54).
          Kebijakan dividen menentukan penempatan laba, yaitu antara membayar kepada
pemegang saham dan menginvestasikan kembali dalam perusahaan. Laba ditahan (retained
earnigs) merupakan salah satu dari sumber dana yang paling penting untuk membiayai
pertumbuhan perusahaan, tetapi dividen merupakan arus kas yang disisihkan untuk pemegang
saham (Brigham dan Houston, 1992 : 97).
         Sekertaris perusahaan Astra Otoparts Sani mengatakan meskipun laba turun perusahaan tetap membagikan dividen walaupun besaran dividen yang dibagikan menurun akibat laba perusahaan yang diperoleh menurun dari tahun sebelumnya (www.cnnindonesia.com :2015).
         Sama halnya dengan apa yang diutarakan oleh Direktur utama perusahaan MedcoEnergy Lukman Mahfoedz, pembagian dividen tetap dibagikan dengan rasio yang sama dengan tahun lalu, meskipun besaran dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham menurun, itu diakibatkan karena laba bersih yang didapat oleh perusahaan MedcoEnergy menurun dari tahun sebelumnya (www.tambang.co.id : 2015)
         Berbeda halnya dengan apa yang disampaikan oleh Direktur utama PT.Saranacentral, beliau mengatakan perusahaan tidak membagikan dividen dikarenakan laba bersih yang diterima oleh PT.Saranacentral menurun sangat drastic (www.tempo.co : 2014 )
           Oleh karena itu, untuk membayar dividen suatu perusahaan harus menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi laba untuk dividen atau untuk laba ditahan. Ada faktor
utama yang harus dipertimbangkan, misalnya ketersediaan kas, karena walaupun perusahaan
memperoleh laba namun jika uang kas tidak mencukupi maka ada kemungkinan perusahaan
memilih menahan laba tersebut untuk diinvestasikan kembali bukan diberikan kepada
pemegang saham dalam bentuk dividen. Pembagian dividen dan pertumbuhan perusahaan
ingin mengetahui berapa laba bersih yang diperoleh perusahaan dan dari laba tersebut berapa
yang akan dibagikan sebagai dividen (Hermi, 2004 dalam Manurung dan Siregar, 2009 : 2).
I.2 Perumusan Masalah
1.      Bagaimana pengaruh antara laba bersih terhadap kebijakan dividen pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2012 ?
2.      Bagaimana pengaruh antara arus kas operasi terhadap kebijakan dividen pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2012 ?
3.      Bagaimana pengaruh antara laba bersih dan arus kas operasi terhadap kebijakan dividen pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2012 ?
I.3 Tujuan Penelitian.
     Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahuipengaruh antara laba bersih dan arus kas operasi terhadap kebijakan dividen pada perusahaanyang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2012. Adapun tujuan khususnya yaitu:
a.       Untuk mengetahui pengaruh laba bersih terhadap kebijakan dividen padaperusahaan yang    terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2009-2012.
b.      Untuk mengetahui pengaruh arus kas operasi terhadap kebijakan dividen padaperusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2009-2012.
I.4  Manfaaat Penelitian
       Penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat sebagai berikut :
a.       Manfaat Akademis
Sebagai ilmu pengetahuan dalam bentuk media untuk memperoleh informasi terkait laba bersih, arus kas operasi, dividen dan kebijakan dividen di perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
b.      Manfaat Praktis
Sebagai acuan informasi bagi investor, calon investor, analis dan pemerhati investasi, diharapkan dapat menjadi dasar keputusan pengambilan investasi terkait dengan tingkat pengembalian yang berupa dividen perusahaan.
BAB II
PUSTAKA, KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
2.1  Dasar Teori
1.      Laba Bersih
           Menurut Abdullah (1993 : 289) dalam Manurung dan Siregar (2009 : 4). Laba bersih adalah kelebihan seluruh pendapatan atas seluruh biaya untuk seluruh periode tertentu setelah dikurangi pajak penghasilan yang disajikan dalam laporan laba rugi.
           Hendriksen & Breda (1992 : 338) dalam Rasyid (2001 : 56) berpendapat Laba bersih merupakan net income to shareholders (laba bersih bagi pemegang saham) yang akan dibagikan dalam bentuk dividen.
           Sedangkan Chariri dan Ghozali (2001: 213) mengungkapkan laba adalah laba akuntansi yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya. Besarnya laba sebagai pengukur kenaikan aktiva sangat tergantung atas ketepatan pengukuran dan biaya.
2.     Arus Kas
          Menurut Pradhono dan Yulius (2004) dalam Manurung dan Siregar (2009 : 11) Arus kas operasi adalah selisih bersih antara penerimaan dan pengeluran kas dan setara kas yang berasal dari aktivitas operasi selama 1 tahun buku, sebagaimana tercantum dalam laporan arus kas. Laba bersih merupakan indikator yang menentukan apakah dari operasinya perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar dividen dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan pada sumber pendanaan dari luar (Dalam PSAK N0.2 paragraf 12 (IAI:2002) (dikutip oleh Manurung dan Siregar, 2009 : 8).
         Schroeder dkk, 1995 : 227 dalam Rasyid, 2001: 57) mengungkapkan bahwa Arus kas operasi adalah pengaruh kas dari transaksi yang termasuk dalam penentuan net income selain aktivitas investasi dan keuangan. Dalam Brigham dan Houston (2001 : 46) Arus Kas Operasi adalah perbedaan antara laba penjualan dan beban operasi kas setelah pajak atas pendapatan operasi.
3.     Dividen
          Menurut Scott Besley dan Eugene F. Brigham (2005:300) Dividen adalah pembagian uang tunai yang dilakukan untuk pemegang saham dari laba perusahaan, baik laba yang dihasilkan pada periode berjalan atau dalam periode sebelumnya. 
          Sedangkan menurut Nikiforos K. Laopodis (2013:300) Dividen adalah pembayaran tunai yang dibayarkan oleh perseroan kepada pemegang saham. Di Amerika Serikat, dividen diijinkan dan biasanya dibagikan pada triwulanan berdasarkan kebijaksanaan dewan direktur perusahaan. Dividen itu merepresentasikan pemegang saham terhadap penerimaan pengembalian langsung atau tidak langsung atas investasi mereka di perusahaan.
           Paul D. Kimmel, Jerry J. Weygandt dan Donald E. Kieso (2011:584) berpendapat dividen adalah distribusi oleh perusahaan kepada para pemegang sahamnya secara pro rata (proporsional dengan dasar kepemilikan). Pro rata berarti bahwa jika investor memiliki, katakanlah, 10% dari saham biasa, investor akan menerima 10% dari dividen. Dividen dapat mengambil empat bentuk: uang tunai, properti, warkat (surat pengakuan utang untuk membayar tunai), atau saham. Dividen kas, yang mendominasi dalam praktek, dan dividen saham, yang dinyatakan dengan beberapa frekuensi.
4.     Kebijakan Dividen
         Kebijakan dividen adalah penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk digunakan di dalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut harus ditahan di dalam perusahaan (Riyanto, 1995: 265). Sedangkan menurut Atmaja (2008: 285), kebijakan deviden adalah keputusan tentang EAT (Earnings After Tax) yang dibagikan sebagai deviden.
        Menurut Weston dan Copeland (2010: 125), kebijakan deviden menentukan pembagian laba antara pembayaran kepada pembagian saham dan investasi kembali perusahaan. Laba ditahan (retained earnings) merupakan salah satu sumber dana paling penting untuk membiayai pertumbuhan perusahaan, tetapi deviden merupakan arus kas yang disisihkan untuk pemegang saham.
       Kebijakan dividen merupakan keputusan pembayaran dividen yangmempertimbangkan maksimalisasi harga saham saat ini dan periode mendatang (Brigham dan Houston, 1992 : 198).
5.     Teori Kebijakan Dividen
          Beberapa teori yang relevan dalam kebijakan deviden adalah smoothing theory, clientele effect theory, tax preference theory, dividend irrelevance theory, bird in the hand theory, residual theory of dividens, teori signal atau isi informasi dividen (information content of dividend). Manurung dan Siregar, 2009 : 3, yaitu :
                                                              i.      Smoothing Teory
Teori ini dikembangkan oleh Lintner. Teori ini mengatakan bahwa jumlah dividen bergantung akan keuntungan perusahaan sekarang dan dividen tahun sebelumnya.
                                                            ii.      Clientele Effect Theory
Teori ini diungkapkan oleh Black and Scholes. Teori mengatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijaksanaan dividen perusahaan. Sebagai contoh, kelompok investor dengan tingkat pajak yang tinggi akan menghindari dividen, karena dividen mempunyai tingkat pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan capital gain. Menurut teori ini dividen tertentu akan menarik segmen tertentu kemudian tugas perusahaan (manajemen keuangan) adalah melayani segmen tersebut. Kebijakan dividen yang berubah-ubah akan mengacaukan efek klien tersebut, menyebabkan harga saham berubah.
                                                          iii.      Tax preference theory
Menurut teori ini, investor tidak terlalu menyukai dividen karena dividen tidaklah tax deductible. Teori ini merujuk kepada pengenaan pajak yang diberlakukan bagi setiap investor yang mendapat capital gain atau dividen. Pada  umumnya besarnya pajak yang diberlakukan berbeda, dimana pajak untuk dividen lebih besar dibandingkan pajak untuk capital gain. Selain itu, pajak atas capital gain baru dapat dibayar jika capital gain telah direalisasi. Dengan demikian, apabila investor tidak segera merealisasikan capital gain-nya, berarti investor menunda pembayaran pajaknya. Sudah tentu present value (PV) pembayaran pajaknya akan turun. Dengan dua alasan ini (pajak lebih rendah serta dapat ditundakan) maka Litzenberger dan Ramaswarny (1979) menyatakan pandangan negatif dividen bagi value perusahaan.
                                                          iv.      Dividend Irrelevance Theory
Teori ini dikembangkan oleh Miller dan Modigliani dalam papernya Dividend Irrelevance Preposisition. Paper tersebut menjelaskan bahwa dalam dunia pajak, dan tidak diperhitungkannya biaya transaksi serta dalam kondisi pasar yang sempurna, maka kebijakan dividen tidak akan memberikan pengaruh apapun pada harga pasar saham tersebut.
                                                            v.      Bird in the Hand Theory
Teori ini mengatakan pembayaran dividen mengurangi ketidakpastian karena dividen diterima saat ini, sedangkan capital gain diterima di masa mendatang. Gordon mengemukakan bird in the hand theory yang mengatakan bahwa dengan  mendapatkan dividen (a bird in the hand) adalah lebih baik daripada saldo laba (a bird in the bush) karena pada akhirnya saldo laba tersebut mungkin tidak akan pernah terwujud sebagai dividen di masa depan (it can fly away).
                                                          vi.      Residual Theory Of Dividens
Menurut teori dividen residual, dividen ditentukan dengan cara:
1.      mempertimbangkan kesempatan investasi perusahaan,
2.      mempertimbangkan target struktur modal perusahaan untuk -menentukan besarnya modal sendiri yang dibutuhkan untuk investasi,
3.      memanfaatkan laba ditahan untuk memenuhi kebutuhan akan modal sendiri tersebut semaksimal mungkin dan,
4.      membayar dividen hanya jika ada sisa laba.
Kebijakan dividen residual dengan demikian membayarkan dividen hanya jika ada sisa kas setelah perusahaan mendanai semua usulan investasi yang mempunyai NPV (Net Present Value) positif.
                                                        vii.      Teori Signal atau Isi Informasi Dividen (Information Content Of Dividend)
Ada kecenderungan harga saham akan naik jika ada pengumuman kenaikan dividen, dan harga saham akan turun jika ada pengumuman penurunan dividen. Ada argumen lain yang lebih masuk akal. Dividen itu sendiri tidak menyebabkan kenaikan (penurunan) harga, tetapi prospek perusahaan, yang ditunjukkan oleh meningkatnya (menurunnya) dividen yang dibayarkan, yang menyebabkan perubahan saham. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai teori signal atau isi informasi dividen. Menurut teori ini, dividen mempunyai kandungan informasi, yaitu prospek perusahaan di masa mendatang.
                                                      viii.      Agency Theory
Menurut teori ini konflik terjadi pihak-pihak yang berkaitan di perusahhan. Sebagai contoh, manajer disewa oleh pemegang saham untuk menjalankan perusahaan agar tujuan pemegang saham bisa tercapai., tetapi manajer bisa saja mempunyai agenda tersendiri yang tidak selalu konsisten dengn tujuan pemegang saham, misalnya perusahaan mempunyai kelebihan kas dengan NPV positif (free cash flow), yang didefenisikan sebagai kelebihan kas setelah semua investasi dengan NPV positif didanai). Kas tersebut akan lebih baik jika dibagikan ke pemegang saham, dan pemegang saham akan memanfaatkan kas tersebut dengan cara mereka sendiri.
                                                          ix.      Teori Keuangan
Menurut teori keuangan, dividen (atau investasi kembali) tidak sama dengan laba setelah pajak. Dalam teori keuangan, jumlah dana yang bisa dibagikan sebagai dividen bisa dinyatakan sebagai berikut: D = E + Penyusutan – Investasi pada A.T – Penambahan M.K
 Keterangan:
D = Dividen,
 E = Earning After Tax (Laba Setelah Pajak),
 A.T = Aktiva Tetap,
M.K = Modal kerja.
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa dana yang bisa dibagikan sebagai dividen merupakan kelebihan dana yang diperoleh dari operasi perusahaan (yaitu E + penyusutan) diatas keperluan investasi untuk menghasilkan laba dimasa yang akan datang (yaitu investasi aktiva tetap dan modal kerja). Hanya saja, untuk menyederhanakan analisis sering diasumsikan bahwa investasi pada aktiva tetap akan diambilkan dari dana penyusutan, dan modal kerja dianggap tidak berubah (sehingga tidak perlu menambah modal kerja). Apabila asumsi ini dipergunakan, maka bisa dimengerti kalau besarnya dividen ditentukan oleh laba setelah pajak (E) dan maksimal dividen yang bisa dibagikan adalah sama dengan E. Itulah mengapa Earning After Tax (EAT) digunakan sebagai ukuran jumlah maksimal dana yang dibagikan sebagai dividen.
6.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen
Ada beberapa faktor yang lain mempengaruhi manajemen dalam menentukan kebijakan dividen antara lain menurut Atmaja, (1994 : 291-292) :
1.      Perjanjian hutang
Pada umumnya perjanjian hutang antara perusahaan dengan kreditur membatasi pembayaran dividen.
2.      . Pembatasan dari saham Preferen
Tidak ada pembatasan dividen untuk saham biasa jika dividen saham preferen belum dibayar.
3.      Tersedianya Kas
Dividen berupa uang tunai (cash dividend) hanya dapat dibayar jika tersediauang tunai yang cukup. Jika likuiditas baik, perusahaan dapat membayar dividen.
4.      Pengendalian
Jika manajemen ingin mempertahankan control terhadap perusahaan, maka cenderung untuk segan menjual saham baru sehingga lebih suka menahan laba guna memenuhi kebutuhan dana/baru.
5.       Kebutuhan Dana untuk investasi
Perusahaan yang berkembang selalu membutuhkan dana baru untuk diinvestasikan pada proyek-proyek yang menguntungkan. Oleh karena itu, semakin besar kebutuhan dana investasi, semakin kecil dividen payout ratio.
6.       Fluktuasi laba
Jika laba perusahaan cenderung stabil, perusahaan dapat membagikan dividen yang relative besar tanpa takut harus menurunkan dividen jika laba tiba-tiba merosot dan Sebaliknya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen dalam menentukan kebijakan dividen antara lain (Riyanto, 1995 : 267) :
1.      Posisi Likuiditas Perusahaan
Posisi kas atau likuiditas dari suatu perusahaan merupakan faktor yang penting yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk menetapkan besarnya dividen yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham. Oleh karena itu dividen merupakan “cash outflow”, maka makin kuatnya posisi likuiditasnya karena sebagian besar kemampuannya untuk membayar dividen. Dengan demikian bahwa makin kuat posisi likuiditas suatu perusahaan terhadap prospek kebutuhan dana diwaktu-waktu mendatang, makin tinggi “dividend payout ratio” nya.
2.      Kebutuhan Dana untuk Membayar Hutang
Apabila perusahaan menetapkan bahwa pelunasan hutangnya akan diambil dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut. Berarti bahwa hanya sebagian kecil saja dari pendapatan atau earning yang dapat dibayarkan sebagai dividen.Dengan kata lain perusahaan harus menetapkan dividend payout ratio yang rendah.
3.      Tingkat Pertumbuhan Perusahaan
Makin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, makin besar kebutuhan akan dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan tersebut. Makin besar kebutuhan dana untuk waktu mendatang untuk membiayai pertumbuhannya, perusahaan tersebut biasanya lebih senang untuk menahan “earning” nya daripada dibayarkan sebagai dividen kepada para pemegang saham dengan mengingat batasan-batasan biaya. Dengan demikian bahwa makin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan makin besar dana yang dibutuhkan, makin besar kesempatan untuk memperoleh keuntungan, makin besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam perusahaan, yang ini berarti makin rendah “dividen payout rationya.
4.      Pengawasan terhadap Perusahaan
Variabel penting lainnya adalah “control” atau pengawasan terhadap perusahaan. Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya dengan dana yang berasal dari sumber intern saja. Mempercayakan pada pembelanjaan intern dalam rangka usaha mempertahankan “control terhadap perusahaan, berarti mengurangi “dividend payout ratio” nya.
               Menurut Weston dan Copeland (2010 : 127), Faktor-faktor yang mempengaruhi
              kebijakan deviden adalah :
1.      Undang-Undang
Undang-Undang menentukan bahwa deviden harus dibayar dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada pada pos “laba ditahan (retained earnings)” di neraca.
2.      Posisi Likuiditas
Meskipun suatu perusahaan mempunyai catatan mengenai laba, perusahaan mungkin tidak dapat membayar tunai deviden karena posisi likuiditasnya. Dalam keadaan seperti ini perusahaan dapat memutuskan untuk tidak membayar deviden.
3.      Kebutuhan Pelunasan Hutang
Apabila perusahaan mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti jenis pembiayaan yang lain, perusahaan menghadapi dua pilihan. Perusahaan dapat membayar hutang itu pada saat jatuh tempo dan menggantikannya dengan jenis surat berharga yang lain, atau perusahaan dapat memutuskan untuk melunaskan hutang tersebut. Jika keputusannya adalah membayar hutang tersebut, maka ini biasanya perlu penahanan laba.
4.      Pembatasan dalam Perjanjian Hutang
Perjanjian hutang, khususnya apabila merupakan hutang jangka panjang seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar deviden tunai.
5.      Tingkat Ekspansi Aktiva
Semakin cepat sebuah perusahaan berkembang, semakin besar kebutuhannya untuk membiayai ekspansi aktivanya.
6.      Tingkat Laba
Tingkat hasil pengembalian yang diharapkan akan menentukan pilihan relatif untuk membayar laba tersebut dalam bentuk deviden kepada pemegang saham atau menggunakannya diperusahaan tersebut.
7.      Stabilitas Laba
Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil seringkali dapat memperkirakan berapa besar laba dimasa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan laba dengan persentase yang lebih tinggi daripada perusahaan yang labanya berfluktuasi.
8.      Akses ke Pasar Modal
Kemampuan perusahaan untuk menaikkan modalnya atau dana pinjaman dari pasar modal akan terbatas dan perusahaan seperti ini harus menahan lebih banyak laba untuk membiayai operasinya. Jadi perusahaan yang sudah mapan cenderung untuk memberi tingkat pembayaran deviden yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil atau baru.
9.      Kendali Perusahaan
Kebijakan ini didukung oleh pendapat bahwa menghimpun dana melalui penjualan tambahan saham biasa akan mengurangi kekuasaan kelompok dominan dalam perusahaan itu. Pentingnya pembiayaan internal dalam usaha untuk mempertahankan kendali perusahaan, akan memperkecil pembayaran deviden.
10.  Posisi Pemegang saham sebagai Pembayaran Pajak
Posisi pemilik perusahaan sebagai pembayar pajak sangat mempengaruhi keinginannya untuk memperoleh deviden. Akan tetapi, pemegang yang dimiliki oleh orang banyak akan memilih pembayaran deviden yang tinggi.
11.  Pajak Atas Laba yang Diakumulasikan secara salah
Untuk mencegah pemegang saham hanya menggunakan perusahaan sebagai suatu perusahaan penyimpanan uang yang dapat digunakan untuk menghindari tarif penghasilan pribadi yang tinggi, peraturan perpajakan perusahaan menentukan suatu pajak tambahan khusus terhadap penghasilan yang diakumulasikan secara tidak benar.
2.2  Penelitian Terdahulu
           Sebelumnya telah dilakukan penelitian tentang laba bersih dan arus kas terhadap kebijakan dividen. Agung Dwi Cahyo (2014) meneliti tentang pengaruh laba bersih, arus kas operasi dan peluang investasi terhadap kebijakan dividen dengan objek penelitian pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan rentang tahun 2009-2012, menurutnya laba bersih, arus kas operasi dan peluang investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap keputusan kebijakan dividen di perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009-2012.
         Dafid Irawan Nurdhiana (2013) meneliti tentang pengaruh laba bersih dan arus kas operasi terhadap kebijakan dividen di perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009-2010, hasilnya adalah variabel laba bersih secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen, begitupun dengan variabel arus kas operasi secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Sementara itu pengujian secara simultan (bersamaan) juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen di perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesa pada tahun 2009-2010.
        Menurut Indah Agustina Manurung (2009) dengan judul penelitian “Pengaruh Laba Bersih dan Arus Kas Operasi terhadap Kebijakan Dividen di Perusahaan manufaktur yang Go Public”. Berdasarkan penelitiannya berkesimpulan bahwa laba bersih secara parsial tidak  berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen di perusahaan manufaktur yang go public sedangkan variabel arus kas operasi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen di perusahaan manufaktur yang go public, dan pengujian juga dilakukan secara bersama-sama (simultan) dengan hasil laba bersih dan arus kas operasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen di perusahaan manufaktur yang go public di Bursa Efek Indonesia.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
Judul penelitian
Penelitian sekarang
Persamaan
Perbedaan
1
Agung Dwi Cahyo
(2014)
Pengaruh Laba Bersih, Arus Kas Operasi dan Ivestment Oppurtinity Set terhadap Kebijakan Dividen di Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2009-2012
·         Variabel Independen : Laba bersih dan Arus Kas Operasi
·         Variabel Dependen : Kebijakan Dividen
·         Tahun laporan
·          Jenis perusahaan.
·         Variabel Indpenden (X.3)
2
Dafid Irawan Nurdhiana (2013)
Pengaruh Laba Bersih dan Arus Kas Operasi Terhadap
Kebijakan Dividen Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di
Bursa Efek Indonesia Periode 2009-2010
·         Hanya dua Variabel Independen : Laba Bersih dan Arus Kas Operasi.
·         Variabel Dependen : Kebijakan Dividen
·         Periode Tahun Laporan yang diteliti.
3
Indah Agustina Manurung
(2009)
Pengaruh Laba Bersih dan Arus Kas Operasi terhadap Kebijakan Dividen di Perusahaan Manufaktur yang Go Public
·         Hanya dua Variabel Independen : Laba Bersih dan Arus Kas Operasi.
·         Variabel Dependen : Kebijakan Dividen
·         Objek Penelitian
·         Periode tahun laporan yang diteliti.
2.3  Kerangka Konseptual
         Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan diatas, hubungan antara laba bersih dan arus kas operasi terhadap kebijakan dividen, dapat digambarkan dalam kerangka sebagai berikut:
    
LABA BERSIH (X1)
 


KEBIJAKAN DIVIDEN
(Y)
H1
                                                                    
                                                                       
ARUS KAS OPERASI (X2)
H2
 


H3
                                                               (H
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
         Besar kecilnya dividen yang akan dibagikan oleh perusahaan, tergantung kebijakan dividen yang ditempuh oleh perusahaan itu sendiri. Secara teoritis semakin besar laba bersih suatu perusahaan yang didapat maka akan semakin besar pula proporsi dividen yang akan dibagikan perusahaan kepada setiap pemegang saham, dan sebaliknya semakin kecil laba bersih dividen sautu perusahaan maka proporsi dividen yang akan dibagikan juga akan semakin sedikit.
         Laba bersih perusahaan biasanya dianggap determinan utama dari dividen, tetapi dalam kenyataannya dividen lebih bergantung pada arus kas yang mencerminkan kemampuan untuk membayar dividen (Eugene dan Joel, 2001:85).
        Jumlah arus kas yang berasal dari aktvitas operasi perusahaan merupakan indicator yang menentukan apakah kegiatan operasi perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk membayar dividen yang telah ditetapkan oleh kebijakan dividen. Semakin besar arus kas operasi maka akan semakin besar dividen payout ratio yang ditetapkan, karena perusahaan memiliki kas untuk membayar dividend an semakin kecil arus kas yang dihasilkan dari aktivitas operasi maka akan semakin kecil dividen payout ratio yang ditetapkan manajemen karena ketidakmampuan perusahaan untuk menyediakan uang kas untuk membayar dividen. Arus kas operasi berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen (dividen payout ratio).
2.4  Hipotesis
      Dalam penelitian ini akan diukur seberapa besar pengaruh laba bersih dan arus kas operasi terhadap kebijakan dividen. Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Secara parsial laba bersih berpengaruh terhadap kebijakan dividen
H2 : Secara parsial arus kas operasi berpengaruh terhadap kebijakan dividen
H3 : Secara simultan laba bersih dan arus kas operasi berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1    Rancangan Penelitian
      Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh laba bersih dan arus kas operasi terhadap kebijakan dividen perusahaan industri manufaktur dengan rancangan penelitian yang dilhat dari aspek metode pengumpulan data, aspek kemampuan memanipulasi variabel, dan aspek tujuan penelitian (Sugihen, 2003:130).
1.      Dilihat dari aspek metode pengumpulan datanya, rancangan penelitian ini adalah penelitianpengamatan (observasional), sebab sifat data berupa bahan yang hanya dapat diobservasi dan tanpa berusaha mendapatkan tanggapan dari pihak lain, sebab data penelitian ini berisi peristiwa yang sudah terjadi pada waktu yang lalu,
2.      Dilihat dari aspek kemampuan memanipulasi variabel, rancangan penelitian ini adalah penelitian ex post facto, sebab data penelitian berasal dari perusahaan industri manufaktur apa adanyatanpa manipulasi,
3.      Dilihat dari aspek tujuan penelitian, rancangan penelitian ini adalah studi kausal, sebab tujuan penelitian berusaha menjelaskan hubungan sebab akibat dalam bentuk pengaruh antara variabel melalui pengujian hipotesis. Kaidah utama hubungan kausal adalah hubungan sebab-akibat, yaitu: A menghasilkan B, atau A menyebabkan B. Proses kejadiannya, A terjadi sebelum B terjadi (time sequence), atau A terjadi kemudian selang waktu tertentu B kemudian terjadi (lack period).
3.2    Populasi dan Sampel
         Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian di tarik kesimpulannya (Sugiyono, 2006:55). Masalah dalam regresi berganda cross-sectional diatasi dengan membatasi populasi penelitian pada industri tertentu. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa efek Indonesia yang berjumlah 151 perusahaan. Dalam hal ini peneliti memilih perusahaan publik yang bergerak diindustri manufaktur dengan pertimbangan banyaknya sampel yang dapat diperoleh dan keandalan arus kas yang disajikan. Industri lain, misalnya perbankan, mempunyai ketidakpastian kas yang lebih tinggi daripada industri manufaktur karena dalam industri ini kas merupakan produk suatu entitas. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono,2006:55). Sampel yang digunakan dengan menggunakan metode purposive sampling, dengan kriteria sebagai berikut:
a.       Perusahaan terdaftar di Bursa Efek Indonesia adalah perusahaan keuangan dan non keuangan dari tahun 2009 sampai tahun 2012.
b.      Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan dan Kebijakan dividen selama periode pengamatan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012.
c.       Perusahaan yang memenuhi rasio-rasio keuangan yang digunakan sebagai pengukur variabel penelitian.
3.3    Jenis Data
    Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data kuantitatif, yaitu data yang diukur dalam suatu skala numerik (Mudrajat Kuncoro, 2003:124) dan merupakan data sekunder, yaitu data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian (Syamsul Hadi, 2006:41). Data yang digunakan berupa:
1.      Informasi mengenai laba bersih perusahaan,
2.      Informasi mengenai arus kas dari aktivitas operasi perusahaan
3.      Informasi mengenai kebijakan dividen (dividen payout ratio)
    Data yang diperoleh adalah kombinasi antara data time series dan data cross-section. Data time-series adalah data yang secara kronologis disusun menurut waktu pada suatu variabel tertentu dan data cross-section yaitu data yang dikumpulkan pada suatu titik tertentu (Mudrajat Kuncoro, 2003:125) yang disebut dengan pooling data atau combined model.
3.4    Teknik Pengumpulan Data
       Data yang digunakan adalah data eksternal. Data eksternal adalah data yang dicari secara manual dengan cara mendapatkannya dari luar perusahaan. Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan dua tahap, tahap pertama dilakukan melalui studi pustaka, yakni jurnal akuntansi dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pada tahap kedua, pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari media internet dengan mendownload melaui situs www.bei.co.id untuk memperoleh data mengenai laporan keuangan yang telah dipublikasikan.  
3.5    Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional memberikan pengertian terhadap konstruk atau memberikan variabel dengan menspesifikasikan kegiatan atau tindakan yang diperlukan peneliti untuk mengukur. Dilihat dari sudut pandang hubungannya variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen dan variabel dependen.
1.      Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (Sugiyono, 2006:3). Dalam penelitian variabel independen terdiri dari:
a.       laba bersih dihitung dari kelebihan pendapatan atas beban termasuk gains dan losses. Laba bersih diukur dengan satuan Rupiah per lembar saham,
b.      arus kas operasi adalah selisih bersih antara penerimaan dan pengeluaran kas dan setara kas yang berasal dari aktivitas operasi selama 1 tahun buku, sebagaimana tercantum dalam laporan arus kas (Pradhono, 2004). Arus kas operasi diukur dengan satuan Rupiah per lembar saham.
2.      Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat adanya variabel bebas (Sugiyono, 2006:3). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dividend payout ratio. Dividend payout ratio merupakan proporsi laba yang dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk tunai selama tahun tertentu. Dividend payout ratio (DPR) adalah persentase yang dibagi dari earning after tax. DPR dapat dirumuskan sebagai berikut (Warsono, 2003:275):
DPR = Dividen : Laba yang tersedia bagi para pemegang saham
Semua variabel dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala rasio. Pengukuran dua variabel bebas (arus kas operasi dan laba bersih) dalam satuan Rupiah per lembar saham, dimaksudkan agar memenuhi kesetaraan pengukuran dengan variabel terikat devidend Payout Ratio.
3.6    Metode Analisis Data
Sebelum data dianalisis, maka untuk keperluan analisis data tersebut terlebuh dahulu dilakukan uji asumsi klasik.
1.      Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik yang dilakukan adalah uji normalitas data, uji multikolinearitas, uji heterokedasitas dan uji autokorelasi.
a.       Uji Normalitas Data
Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Kalau nilai residual tidak mengikuti distribusi normal, uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil (Ghozali, 2005:110). Untuk mendeteksinya yaitu dengan melihat grafik histogram yang membandingkan data observasi dengan distribusi normal.
 Menurut Ghozali (2005:110), ”cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak ada dua, yaitu analisis grafik dan analisis statistik. Normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dan grafik dengan melihat histogram dari residualnya”. Dasar pengambilan keputusannya adalah:
1)      Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola berdistribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas,
2)      jika data menyebar jauh dari diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan data berdistribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
    ”Uji statistik yang dapat digunakan untuk menguji normalitas residual adalah uji statistik Kolmogorov-Smirnov (K-S)”, yang dijelaskan oleh Ghozali (2005:115). Uji K-S dibuat dengan membuat hipotesis:
Ho : Data residual berdistribusi normal
Ha : Data residual tidak berdistribusi normal
     Bila signifikansi >0,05 dengan α = 5% berarti distribusi data normal dan Ho diterima, sebaliknya bila nilai signifikan <0,05 berarti distribusi data tidak normal dan Ha diterima.
b.      Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara antara variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak ada korelasi antar variabel independen. Ada tidaknya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat nilai tolerance dan VIF. Menurut Ghozali (2005:92), ”nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10”.
c.       Uji Heterokedasitas
Uji ini memiliki tujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Menurut Erlina (2007:108) “jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya tetap, maka disebut homokedasitas, jika berbeda disebut heterokedasitas. Sebaliknya jika varians berbeda, maka disebut heterokedasitas”. Ada tidaknya heterokedasitas dapat dilakukan dengan melihat grafik Scaterplot antar nilai prediksi variabel independen dengan nilai residualnya. Dasar analisis yang dapat digunakan untuk menentukan heterokedasitas, antara lain:
1)      Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heterokedasitas,
2)      Jika tidak ada pola yang jelas, seperti titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedasitas atau terjadi homokedasitas.
d.      Uji Autokorelasi
Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang tahun yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Hal ini sering ditemukan pada time series. Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi masalah autokorelasi adalah dengan menggunakan nilai uji Durbin Watson dengan ketentuan dari Prof. Singgih sebagai berikut:
1)      Angka D-W dibawah -2 berarti ada autokorelasi positif,
2)      Angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi,
3)      Angka D-W di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif.
2.      Pengujian Hipotesis
Penelitian ini dianalisis dengan model regresi berganda untuk melihat seberapa besar pengaruh laba bersih dan arus kas operasi terhadap dividend payout ratio dengan model dasar sebagai berikut:
Y= α+β1X12X2 +ε
Keterangan :
Y = Variabel dependen, dalam hal ini dividend payout ratio.
 α = Konstanta.
 β12 = Koefisien regresi
X1,X2,X3. X1 = Variabel independen pertama yaitu laba bersih.
 X2 = Variabel independen kedua yaitu arus kas operasi.
 ε = Tingkat kesalahan pengganggu.
a.       Uji F
Uji F statistik digunakan untuk menguji keberartian pengaruh dari seluruh variabel bebas secara bersama-sama (serentak) terhadap variabel tidak bebas. Uj F dimaksudkan untuk melihat kemampuan menyeluruh dari variabel bebas yaitu laba bersih dan arus kas operasi terhadap kebijakan dividen. Uji ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
H0 diterima jika Fhitung < Ftabel
 Ha diterima jika Fhitung > Ftabel
Pada tingkat kepercayaan 95 %
. Hipotesis Penelitian
 Laba bersih dan arus kas operasi berpengaruh secara simultan terhadap dividend payout ratio.
 Hipotesis Statistik
Ho:b1 = 0 (Laba bersih dan arus kas operasi tidak berpengaruh secara simultan terhadap dividend payout ratio)
Ha: b1 ≠ 0 (Laba bersih dan arus kas operasi berpengaruh secara simultan terhadap dividend payout ratio)
b.      Uji t
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen.
Uji ini dilakukan untuk melihat pengaruh laba bersih dan arus kas bersih secara parsial terhadap dividend payout ratio. Uji ini dilakukan dengna membandingkan signifikansi t hitung dengan ketentuan sebagai berikut:
 H0 diterima jika t hitung < t tabel (α = 5%)
Ha diterima jika t hitung > t tabel (α = 5%)
Hipotesis Penelitian
Laba bersih dan arus kas operasi berpengaruh terhadap dividend payout ratio secara parsial.
Hipotesis Statistik
Ho: b2 = 0 (laba bersih dan arus kas operasi tidak berpengaruh terhadap dividend payout ratio secara parsial)
Ha: b2 ≠ 0 (laba bersih dan arus kas operasi tidak berpengaruh terhadap dividend payout ratio secara parsial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar