Kamis, 18 April 2013

UANG KERTAS DAN INFLASI

Dipublikasi pada oleh JONI EKA PUTRA

mar Ibrahim Vadillo dari World Islamic Trade Organization (WITO) menyatakan devaluasi yang terjadi terhadap nilai uang kertas di sebagian negara disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya bahwa uang kertas tidak di dukung oleh nilai instrinsik. Selain itu, penggunaan uang kertas sebagai alat transaksi sangat memungkinkan pemerintah di suatu negara mencetaknya sebanyak mungkin, sehingga rentan inflasi. Ia juga menyatakan, penggunaan uang kertas berarti memberikan izin (pelegalan) atas tindakan pencurian
Uang kertas, mempunyai potensi lebih besar terkena inflasi. Hal ini disebabkan karena nilai uang kertas tersebut tidak mempunyai/ sesuai dengan unsur instrinsiknya. Penyebab lainnya adalah, uang kertas mempunyai kemungkinan dicetak lebih banyak oleh pemerintah. Hal ini akan menurunkan nilai mata uang kertas suatu negara di pasar uang internasional, akibatnya harga dari barang atau jasa yang selama ini berpatokan kepada dolar AS, akan mengalami lonjakan. Hal inilah yang kemudian memaksa pemerintah untuk menaikkan harga sejumlah bahan pokok yang ada di negaranya.
Tidak adanya beckingan uang kertas (dari dinar dan dirham) menjadikan uang kertas sebagai salah satu cara untuk mengambil (mencuri) hak orang lain. Hasilnya adalah, ketidakpastian akan keadilan yang diperoleh masyarakat. Masalah ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Uang kertas mengandung unsur spekulasi
Spekulasi di sini dimaksudkan kepada tidak adanya kestabilan mata uang kertas. Kadang nilainya naik, terkadang nilainya turun. Kemungkinan nilainya selalu turun sangat besar dari pada kemungkinan naiknya. Walaupun tidak didapati kelangkaan atas suatu mata uang kertas di suatu negara, tetapi nilainya selalu turun, sedangkan harga barang dan jasa selalu naik, maka kesejahteraan masyarakat tetap tidak terjamin.
WITO mencatat, sistem uang kertas hanya menguntungkan 300 kerajaan keluarga di dunia. Mereka diuntungkan karena mereka menguasai sebagian besar saham lembaga keuangan lintas negara. Sehingga miliaran penduduk dunia menjadi korban akan sistem uang kertas. Sekali lagi, tidak jaminan atas keadilan yang merata pada sistem uang kertas.
2. Sistem penentuan nilai mata uang kertas adalah dari sektor non reel.
Islam adalah agama pencerahan bagi umat manusia. Tidak saja dalam masalah keyakinan (akidah), tetapi juga dalam masalah sosial, budaya, politik, bahkan yang menjadi pilar kehidupan bangsa sekaligus, yaitu Ekonomi.
Di dalam Islam, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Kita dapat menganalisa dua istilah (jual beli dan riba) di atas dan mengelompokkannya kepada dua hal, yakni:
  1. Jual Beli sebagai suatu hal yang dihalalkan Allah.
Jual beli adalah suatu instrumen dalam perekonomian. Di mana masyarakat saling mendapatkan apa yang dibutuhkannya di suatu tempat yang kemudian di sebut dengan pasar.
Di dalam perekonomian, aktivitas jual beli adalah aktivitas yang reel. Harga akan mencapai titik keseimbangannya (equibrium) atas barang dan jasa apabila adanya keseimbangan antara demand (permintaan) dan supply (penawaran). Artinya, aktivitas jual beli akan menentukan sendiri nilai mata uang itu. Sistem ini dipandang jauh lebih adil, karena uang akan sangat tidak mungkin mengalami penurunan nilai yang kemudian bermuara kepada inflasi.
Adanya penghalalan jual beli dalam Islam, merupakan legitimasi atas pentingnya menjadikan aktivitas jual beli (sektor reel) sebagai tumpuan dari perekonomian. Karena perekonomian yang bertumpu kepada kekuatan pasar (sektor reel) mengandung unsur keadilan bagi masyarakat. Naik dan turunnya nilai mata uang itu dikarenakan adanya transaksi yang berpusat dan berkekuatan pada pasar.
Jadi, sah-sah saja bila kita mengatakan bahwa teori kekuatan pasar yang direkayasa oleh pendiri mazhab kapitalis mengambil teori ini. Hal ini terbukti dengan adanya penyalinan dan pengkajian ulang atas teori tokoh-tokoh ekonomi Islam (ibn Khaldun, Al-Ghazali, al-Magrizi, ibn-Rusyd, ibn-Sina dan lain sebagainya) dan juga pendalaman atas Al-Quran oleh pendiri sistem kapitalis sendiri. Adiwarman Karim menyatakan bahwa teori Invisible Hand yang direkayasa oleh Adam Smith adalah alih bahasa dari istilah yang digunakan ibn Khaldun, yaitu The Hands of God.
  1. Riba sebagai suatu hal yang di haramkan Allah.
Sebagai umat Islam, tentu kita tidak asing lagi dengan istilah riba. Riba adalah suatu kelebihan yang diberikan oleh pihak yang meminjam kepada pihak yang meminjamkan sejumlah uang. Dalam masa ini, riba disamakan dengan bunga bank. Dimana debitur memberikan sejumlah uang yang berlebih dari total pinjamannya kepada kreditur, sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan.
Salah satu media yang menyediakan bunga adalah perbankan. Walaupun kita dapat menemuinya pada kehidupan rentenir di desa-desa. Perbankan adalah salah satu instrumen dalam perekonomian yang menyediakan berbagai fasilitas dan menjanjikan keuntungan yang besar dari bunga yang ditawarkan.
Di dalam ilmu ekonomi, perbankan adalah salah satu aktivitas perekonomian yang bergerak dari sektor non reel. Aktivitas perbankan yang kebanyakan salah dalam prakteknya telah mengubah fungsi uang (uang kertas) – dari alat tukar – menjadi komoditi. Mereka yang berkecimpung dalam dunia perbankan akan menarik keuntungan dari bunga yang dibayarkan oleh pihak debitur. Seolah-olah uang itu dapat beranak.
Kekacauan akan terjadi pada perbankan apabila uang menumpuk dan sedangkan investasi mengecil, (atau sebaliknya, investasi besar tetapi tabungan berkurang), dengan bunga yang besar. Situasi seperti ini akan menurunkan minat masyarakat (perusahaan) untuk melakukan aktivitas produksi. Perusahaan yang tidak mendapatkan pinjaman, akan melakukan penambahan modal dari uang pribadinya sehingga barang dan jasa yang dihasilkanpun mahal. Dan terjadilah inflasi. Hal ini telah menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengandalkan kegiatan sektor non reel pada kemajuan perekonomian.
Tidak saja bunga yang ditawarkan oleh perbankan, tetapi juga aktivitas yang dilakukan pada bursa valuta asing telah mengubah fungsi uang menjadi komoditas. Dimana kita bisa menarik keuntungan dengan memperdagangkan uang itu sendiri.
Ketergantungan suatu mata uang dari suatu negara dengan mata uang negara lain (Dolar AS) adalah suatu hal yang salah. Karena mata uang kertas AS yang dikenal dengan dolar itu sangat mudah mengalami penurunan nilai. Hal ini akan berdampak buruk pada negara yang mata uang kertasnya tergantung pada dolar AS. Karena dengan sekejab nilai mata uang kertas suatu negara akan berubah. Di sinilah aktivitas para spekulan dapat dibuktikan. Ketika nilai uang kertas Rupiah (sebagai contoh) naik, maka ia akan berbondong-bondong membelinya dan menukarnya dengan dolar AS, dengan maksud untuk menarik keuntungan dari sistem penjualan tersebut. Ketika Nilai mata uang kertas Rupiah turun, maka ia (para spekulan tadi) akan kembali menjual dengan dolar AS. Di sinilah kenapa penulis mengatakan bahwa dengan menggunakan uang kertas berarti mengizinkan adanya pencurian dan tindak kezaliman.
Aktivitas sektor non reel dalam perekonomian, sangat tergantung pada bunga. Di mana fungsi uang di tukar menjadi alat untuk diperdagangkan (komoditi) – jelas tidak dapat dipertahankan lagi. Kalaupun kita tetap mempergunakan lembaga keuangan sebagai penguatan basis perekonomian, maka sistemnya harus di tukar dengan sistem yang lebih menjanjikan keadilan (sistem profit sharing). Tentunya yang sesuai dengan aturan permainan perbankan di dalam syariat Islam.
KEMBALI KEPADA DINAR DAN DIRHAM
Kekacauan yang terjadi pada sistem moneter dunia yang disebabkan oleh sistem yang menggunakan mata uang kertas, telah mengakibatkan bencana baru sekaligus mengubah paradigma dunia akan sistem moneter yang ada. Sistem moneter yang diterapkan sekarang dengan mengandalkan uang kertas sebagai instrumen alat tukar dunia ternyata tidak mampu memenuhi keinginan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Kemiskinan terjadi, kekacauan politikpun tidak terelakkan. Karena menang mata uang kertas sangat rentan akan inflasi dan terdapat unsur spekulasi di dalamnya.
Para pengamat menyatakan, satu-satunya solusi atas tragedi perekonomian ini adalah dengan kembali sistem moneter Islam dengan menggunakan Dinar dan Dirham sebagai alat barternya. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, mereka adalah: Pertama, dinar adalah mata uang yang stabil. Sejarah membuktikan, sejak zaman Rasulullah dinar terbukti menjadi mata uang yang paling stabil di banding dengan mata uang manapun. Dinar tidak mengalami inflasi yang begitu besar. Penelitian yang dilakukan Prof. Roy Festrem dari Barkeley University menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dalam kurun waktu 400 tahun hingga tahun 1976 harga emas konstan dan stabil. Justru nilai emas dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. Tahun 1800 harga emas persatu troy ons setara dengan 19,39 Dolar AS, tapi pada tahun 2004 dengan kadar yang sama harga emas sebesar 455,75 Dolar AS.
Artinya selama 24 tahun emas malah mengalami apresiasi sebesar 2250 persen. Bandingkan dengan dolar yang dari tahun ke tahun mengalami ketidakstabilan nilai. Menurut Miller, 1 dolar setelah 55 tahun terhitung sejak 1940-1995 hanya berharga 8 sen, yang berarti telah kehilangan 92 persen nilainya. Data dari World Outlool Report menyebutkan, sejak tahun 2002 nilai riil efektif dolar terus merosot dan terpangkas hingga 20 persen. Bagaimana dengan rupiah? Nasibnya jauh lebih parah. Dari tahun ke tahun rupiah terus mengalami depresiasi terutama oleh dolar. Inflasi cenderung semakin naik. Devaluasi rupiah yang pernah dilakukan pemerintah menyebabkan harga-harga naik 2,5 hingga 30 persen.
Kedua, dinar tidak bisa dibuat untuk spekulasi. Ia tidak bisa dimainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Celah memperdagangkannya memang masih ada. Tapi ketiadaan margin dari transaksinya membuat keengganan para spekulan di manapun. Hal ini karena sebagai mata uang dinar memiliki nilai intrinsik sesuai dengan beratnya masing-masing (4.25 gram emas 22 karat dan tiga gram perak murni).
Ketiga, pendayagunaan dinar-dirham secara fantastik praktis akan mengurangi ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Makna reflektifnya, akan semakin kecil kemungkinan negara pengguna dinar setiap saat digoyang oleh hegemoni dolar dan para fund manager-yang sejauh ini terus melakukan spekulasi secara destruktif untuk kepentingannya sendiri. Kian mengecilnya ketergantungan terhadap dolar AS-dengan demikian-akan berkorelasi konstruktif terhadap upaya stabilisasi ekonomi makro dan mikro.
Keempat, dinar tidak perlu menggunakan alat hedging seperti halnya fiat money yang mesti melakukannya untuk melindungi diri dari perubahan kurs. Ini karena dinar memiliki nilai intrinsik yang otomatis menjadi pelindung bagi dirinya sendiri. Meera (2004) menandaskan emas memiliki nilai intrinsik yang menjadi garansi dan perlindungan dari kemungkinan gencetan situasi eksternal yang tak diinginkan. Emas menjadi bernilai bukan karena dekrit atau diundangkan suatu negara sebagaimana fiat money tapi karena kandungan logam mulianya yang diakui semua orang
Sesuai dengan hukum aksi-reaksi, seiring dengan usaha menghidupkan kembali dinar, tentu saja akan ada usaha untuk merintanginya. Tantangan itu datang dari pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu oleh kehadiran mata uang dinar. Mereka adalah sebuah kekuatan yang tersistem dan mapan, yang menikmati keuntungan besar dari perdagangan maya di pasar uang. Pertanyaan dan penyataan kritis bernada penampikan pun mengemuka, apakah penggunaan dinar sudah fleksibel dan applicable? Penerapan dinar terbukti tidak praktis dan tidak fleksibel, gagasan penerapan mata uang dinar tak lebih dari upaya penerapan syariat Islam sebab dinar adalah mata uang khusus umat Islam. Dan lain sebagainya.
Menjawab masalah fleksibel dan applicable tidaknya penerapan dinar khususnya di Indonesia, penulis menganggap sangat mungkin dilakukan apalagi dengan persediaan emas di Indonesia yang cukup memadai. Malah penerapan dinar ini akan memotivasi pemerintah untuk mengeksplorasi tambang-tambang emas yang masih terpendam. Kemudian masalah dinar tidak praktis dan fleksibel, ini menjadi masalah klasik yang kerap dilontarkan. Para kritikus kerap ”mengajari” pihak-pihak pengusung ide penarapan dinar untuk berkaca pada sejarah. Dalam sejarah, dinar ditinggalkan karena faktor tidak praktis dan sulit dibawa ke mana-mana. Argumennya, jika dinar diterapkan, bagaimana dengan transaksi-transaksi besar, apakah harus membawa emas berkarung-karung atau sebesar jam dinding?
Sebaliknya, dalam transaksi barang-barang remeh, seperti permen, berapa standar emas yang mesti ditetapkan? Seiring dengan kemajuan tekhnologi, emas sangat mungkin se-fleksibel fiat money. Dengan menggunakan pembayaran melalui digital gold dinar tidak harus dibawa ke mana-mana. Pemerintah hanya menyediakan kartu pembayaran semisal ATM sedangkan persediaan emas (dinar) yang dimiliki diletakkan di Bank. Untuk di pedesaan yang masih belum terjangkau kecanggihan digital gold, untuk sementara pemerintah bisa mengeluarkan uang kertas tetapi tetap di back up oleh emas seperti ketika diterapkannya sistem Bretton Woods. Sekali lagi, ini untuk sementara waktu, pada saatnya sistem digital gold bisa menyeluruh hatta ke pelosok desa. Khusus transaksi barang-barang remeh, menarik gagasan Al-Maqrizi, untuk tetap menggunakan fulus atau dari bahan lainnya.
Hambatan selanjutnya adalah efek psikologis kalangan non-muslim yang menganggap dinar adalah mata uang khusus umat Islam. Tantangan ini sebenarnya dapat dihilangkan dengan cara sosialisasi yang gencar kepada masyarakat tentang sejarah dinar yang berasal dari kerajaan Bizantium di mana raja dan penduduknya pada waktu itu mayoritas beragama Nasrani. Cara lain-seperti dikatakan Adiwarman A. Karim-adalah dengan mengganti istilah Dinar menjadi Gold Money.
Sangat besar kemungkinan untuk menjadikan dinar dan dirham sebagai alat tukar di beberapa negara berkembang – untuk menggantikan mata uang kertas – seperti Indonesia. Hal ini disebabkan karena dinar dan dirham memiliki nilai intrinsic sendiri yang tidak mudah terkena inflasi. Selain nilainya tetap dari masa ke masa, dinar dan dirham selalu mengalami kenaikan nilai dan selalu terbebas dari unsur spekulasi. Namun hal itu tergantung pada tujuh faktor, yaitu sosialisasi, dasar syariah, dasar hukum dan moneter, adanya kesiapan infrastruktur industri dinas, perjanjian negara pengguna dinar dan banyaknya masyarakat pengguna dinar. Namun Indonesia saat ini masih melalui tahapan sosialisasi dan pembahasan dasar syariah. Selain itu, Indonesia masih mengkaji dasar hukumnya. Sedangkan lima tahapan sisanya belum dilakukan. Untuk melalui proses di atas memakan waktu yang lama, sebagaimana masyarakat Eropa menerapkan mata uang euro sebagai mata uang resmi di benua itu, memakan waktu 35 tahun untuk mempersiapkannya. Hal itu meliputi sosialisasi dan penyamaan standarisasi keuangan antar negara, pembentukan lembaga moneter regional dam peluncuran euro. Proses yang paling mana memakan waktu adalah proses sosialisasi dan standarisasi sistem keuangan antar negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar