Judika Asima Naibaho Soban, 24 November 1992 AndesSoM@n |
Ada banyak versi yang berkembang di masyarakat tentang asal usul Suku Batak itu sendiri. Salah satu hal yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya informasi sejarah yang dapat diteliti dikarenakan banyak dari benda – benda sejarah suku Batak hilang pada saat penjajahan Belanda dan Perang melawan Padri (atau lebih dikenal dengan tingki ni par padiri). Dalam artikel ini penulis mencoba mengambil jalur historis dimana disebutkan bahwa asal usul Bangsa Batak adalah dari daerah Asia.
Judikanaibaho@blogspot.com
Suku Bangsa Batak semula adalah satu dari Suku Melayu Pegunungan (orang pendalaman yang tinggal dan terisolir di pegunungan) di pegunungan perbatasan Burma / Siam (Thailand). Disana suku Bangsa Batak tinggal dengan suku – suku Bangsa Suku Melayu Pegunungan lainnya seperti Suku Bangsa Karen, Igorot, Toraja, Bontok, Ranau, Meo, Tayal, Waco.
Suku bangsa ini selama ribuan tahun terpisah dari pengaruh dunia luar (splendid isolation), mereka seluruhnya adalah orang – orang pegunungan yang cenderung mengurung diri di pegunungan dan menolak segala hubungan dengan dunia luar terutama orang – orang pesisir (Suku Melayu Pesisir).
Pada + 3000 SM Bangsa Mongol melakukan pelebaran wilayah kekuasaan mereka ke arah Selatan, sepanjang Sungai Irwandi, Salween, serta Mekong. Situasi ini mendesak orang – orang yang bukan hanya dari kalangan Suku Melayu Pesisir (orang pesisir) tetapi juga Suku Palae Mongoloid (nenek moyang orang orang Siam, Kamboja, Laos, Viet, dan Dayak. Akibat expansi ini, suku Siam mulai mendapat terpengaruh agama Budha. Berbeda dengan Suku Dayak yang terlanjur jauh berpindah ke pendalaman hutan Kalimantan.
Desakan yang dilakukan suku Mongol terhadap Palae Mongoloid memaksa Palae Mongoloid mendesak pula ke atas naik ke pegunungan meninggalkan daerah pesisir, ke wilayah Suku Melayu Pegunungan. Inilah yang disebut dengan desakan secara Transcendental. Akibat desakan ini, kalangan Suku Melayu Pegunungan sebagian besar terdesak hingga ke tepi laut di Teluk Martaban dan berlahan – lahan terkena pengaruh budaya Hindu dimana dapat dipahami banyak istilah – istilah Hindu yang mereka adopsi masuk ke dalam bahasa – bahasa Suku Melayu Pegunungan antara lain ke dalam Bahasa Batak. Istilah – istilah seperti ; Debata, Singa, Surgo, Batara, Mangaraja dan lain – lain.
Masyarakat Suku Melayu Pegunungan yang aslinya adalah orang – orang pegunungan tentu tidak merasa nyaman berada di daerah pinggiran mengingat banyaknya ancaman dari pengaruh luar yang bisa datang mempengaruhi. Sangat jauh berbeda dari kebiasaan mereka yang suka menutup diri di pegunungan dari pengaruh luar.
Akhirnya kelompok ini terpecah. Suku Bangsa Bontok, Igorot dan suku Suku Melayu Pegunungan lain yang kecil sangat banyak pergi ke daerah Filiphina dan membentuk kelompok baru (seperti Bangsa Tagalog) dan hingga kini masih berada disana dan menolak masuknya agama luar.
Suku Bangsa Tayal pergi ke puncak puncak gunung – gunung di Taiwan (Formosa). Sejak 3.000 tahun hingga sekarang tidak terpengaruh oleh perebutan tanah di daerah pesisir dan tanah datar Taiwan oleh bangsa – bangsa dari Tiongkok, Belanda dan Jepang. Namun setelah Perang Dunia kedua, mereka dikristenkan oleh pendeta dari Kanada yang datang membawa modern medical science.
Suku Bangsa Toraja mendarat di Sulawesi. Dan disana mereka berbaur dengan suku – suku bangsa Bugis dan Makasar hingga sekarang. Agama islam sendiri sudah ada disini sejak 400 tahun sebelumnya namun suku bangsa Toraja dengan gigih menolak pengaruh islam. Pada abad ke-20 Agama Kristen masuk ke Toraja oleh Pendeta – pendeta yang datang dari Belanda membawa modern medical science.
Lain pula dengan Suku Bangsa Karen yang tetap bertahan di Pegunungan Burma. Hingga sekarang kabarnya masih sering bersengketa dengan suku bangsa lainnya yang sudah membentuk Republik Burma. Suku Bangsa Karen tetap menolak agama Budha yang menjadi agama mayoritas di Burma yang kemudian pada abad ke-19 di Kristenkan oleh Pendeta – Pendeta Inggris.
Suku bangsa Ranau mendarat di Sumatera Selatan dan mengurung diri dari pengaruh luar di sekitar Danau Ranau selama kurang lebih 2500 tahun. Lepas dari segala pengaruh Kerajaan Sriwijaya, Darmasraya dan kerajaan- kerajaan lain yang silih berganti muncul dan lenyap di Sumatera Selatan. Banyak dari suku Ranau dibunuh oleh Kesultanan Banten yang membutuhkan sekitar Danau Ranau untuk penanaman merica untuk di ekspor.
Suku Bangsa Meo juga sama seperti Suku Karen yang memilih bertahan di pegunungan. Mereka terdesak ke seberang lautan dan secara tak terduga menjadi terkenal disana oleh bisnis candu yang memang tumbuh subur di daerah itu. Candu ini kemudian dijual ke hampir seluruh penjuru dunia. Namun tetap terisolir dari pengaruh modernisasi.
Sementara untuk suku Wajo mereka memilih lautan. Mereka menetap disana dan menjadi Sea-Nomads. Orang – orang Wajo tersebar di lautan mulai dari Lingga Archipelago sampai ke Filiphina.
Suku Bangsa Batak mendarat di Pantai Barat Pulau Andalas. Disana suku Batak sudah segera terpecah menjadi beberapa bagian sebagai berikut :
Kelompok Pertama Melanjutkan pelayaran dan mendarat di Simalur, Nias, Batu, Mentawai, Siberut dan lain – lain hingga ke Enggano.
Kelompok Kedua mendarat di Muara Sungai Simpang (Singkil Sekarang) Masuk ke pendalaman dan menetap di Kutacane. Dari sana mereka menduduki seluruh pendalaman Aceh. Inilah yang kemudian menjadi Suku Batak Gayo dan Batak Alas. Walau berada di wilayah Aceh namun kelompok ini tidak pernah terpengaruh oleh Aceh. Tulisan dan Bahasa tetaplah Batak.
Kelompok Ketiga mendarat di Muara Sungai Sorkam (antara Barus dan Sibolga). Masuk ke pendalaman mencari daerah yang terisolir dan bermukim di kaki gunung Pusuk Buhit. Inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal orang Batak sekarang.
Suku Batak di Tanah Batak mendirikan permukiman yang pertama di tepi Danau Toba di kaki Gunung Pusuk Buhit yang bernama Sianjur Sagala Limbong Mulana. Tempat ini sangat terjamin dimana jika dilihat dari segi geografisnya sendiri, permukiman ini berada di ketinggian 900 meter berada jauh dari pinggir danau Toba dan memiliki sumber air untuk irigasi yang sangat banyak.
(Dikutip dari buku Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggang Parlindungan)
Kita sebagai orang Batak tentu tidak
asing dengan nama Sisingamangaraja, Namun mungkin tidak banyak diantara kita
yang tahu sebenarnya bagaimana gelar Sisingamangaraja itu muncul pertama
sekalinya, dan siapakah orang pertama yang memegang gelar Sisingamangaraja itu
sendiri ? Artikel ini akan coba membahas hal ini dengan menggunakan sumber dari
buku “Toba Na Sae” karya Sitor Situmorang.
Lahirnya seorang putra Lembah Bakkara,
yang kemudian menjadi Sisingamangaraja I tertuang dalam sebuah mitos.
Sebagaimana halnya kebanyakan mitos, mitos Sisingamangaraja memiliki berbagai
versi. Artikel ini membatasi diri pada satu versi dalam bentuk ringkasannya
berdasarkan teks tradisi lisan. Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20,
tradisi lisan tersebut dicatat dalam aksara latin.
Tersebutlah seorang bernama Bona Ni
Onan, bungsu dari tiga putra Sinambela. Anak bungsu ini ketika dewasa sering
pergi berjalan jauh, mengembara untuk waktu yang agak lama. Suatu waktu, ketika
dia pulang dari perjalanan beberapa tahun lamanya, ia mendapati istrinya Boru
Borbor sedang hamil tua. Masalah kesetiaan istri timbul pula dikalangan
masyarakat umum Bakkara. Dalam situasi penuh keraguan pada suatu malam sang
suami bermimpi didatangi roh. Roh itu mengatakan bahwa bayi dalam kandungan
isterinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak menjadi raja yang bergelar Sisingamangaraja.
Setelah mimpi itu, sang suami bertanya kepada isteri dan putri semata
wayangnya.
Sang istri bercerita bahwa suatu kali
ketika dirinya sedang mandi di tombak sulu sulu (hutan rimba) mendadak
terdengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Tidak lama
kemudian sang isteri mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia yakin bahwa
kehamilannya adalah buah pertemuannya dengan Roh Batara Guru. Masyarakat
menerima kebenaran makna peristiwa itu. Dan setelah masa kehamilan yang sangat
lama (19 bulan) istrinya pun melahirkan seorang putra. Anak itu diberi nama Manghuntal
karena kelahirannya disertai badai topan dan gempa bumi dahsyat. Kata Manghuntal
berarti gemuruh gempa.
Dimasa remaja Manghuntal menunjukkan
tanda – tanda atau sifat – sifat ajaib yang memperkuat ramalah bahwa dirinya
akan menjadi raja. Setelah dewasa ia melakukan perjalanan untuk mendapatkan
pengakuan atas kesaktian yang dimilikinya. Manghuntal pergi menyebrangi
samudera melewati Barus ke suatu pulau tempat Raja Mahasakti bernama Raja
Uti. Tujuan dia kesana ialah untuk mendapatkan seekor gajah putih. Setelah
sampai di tempat itu ia tidak dapat langsung bertemu dengan Raja tersebut.
Menurut istrinya, Baginda sedang pergi melakukan perjalanan jauh dan tidak tahu
entah kapan kembali.
Manghuntal memilih untuk menunggu Raja
tersebut. Sambil menunggu ia ditawarkan makan oleh istri Baginda. Saat itu
Manghuntal meminta sayur daun ubi rambat. Dan ketika manghuntal mengangkat
sayuran di tangannya ke mulutnya dengan pandangan mengarah ke atas rumah
(layaknya orang yang memakan sayur) ia melihat Raja Uti bersembunyi di atas
atap rumah. Ternyata moncongnya seperti moncong babi. Raja Uti lalu turun dan
bertukar sapa dengan Manghuntal. Manghuntal menyampaikan permohonannya yaitu
meminta seekor gajah putih . Raja Uti menyetujuinya dengan syarat Manghuntal
harus mengumpulkan dan membawakan sejumlah pertanda dari berbagai wilayah di
Toba sebagai bukti kelayakannya menjadi Raja.
Manghuntal kemudian pulang ke Toba dan
kembali ke Barus membawa pertanda – pertanda yang diminta. Setelah semua
pertanda diberikan kepada Raja Uti, Manghuntal diberikan gajah putih dan
sejumlah barang pusaka, diantaranya sebilah keris keramat yang ia beri nama Piso
Gajah Dompak dan sebuah tombak yang ia namai Hujur Siringis.
Keris Piso Gajah Dompak konon hanya
dapat dibuka dari sarungnya oleh orang yang memiliki kesaktian. Dan Manghuntal
membuktikan kemampuannya di depan masyarakat Toba dimana ia berhasil mencabut
keris ini dari sarungnya dalam upacara penobatannya sebagai Raja yang bergelar
Sisingamangaraja. Berikutnya tradisi membuka sarung Piso Gajah Dompak menjadi
tradisi wajib dalam memberikan gelar kepada penerus gelar Sisingamangaraja.
Sekarang Keris Piso Gajah Dompak itu
menurut kabarnya berada di salah satu museum di Belanda bersama sama dengan
stempel kerajaan Sisingamangaraja.
Lahirnya Sisingamangaraja I di Bakkara
dapat dikatakan terhitung mulai dari Turunan yang ke-8 dari garis silsilah kira
– kira sama dengan 200 – 300 tahun sesudah Si Raja Batak.
TARIKH SEJARAH BATAK
Berikut ini silsilah Sisingamangaraja
dimulai dari Si Raja Batak hingga Sisingamangaraja XII. Data kelahiran diambil
dari perhitungan rata – rata 1 generasi yaitu 30 tahun.
- Si Raja Batak (Lahir tahun 1305)
- Raja Isombaon (1335)
- Tuan Sori Mangaraja (1365)
- Tuan Sorba Dibanua (1395)
- Si Raja Oloan (1425)
- Toga Sinambela (1455)
- Raja Bona Ni Onan (1485)
- Raja Manghuntal / Sisingamangaraja I (1515)
- Raja Tinaruan / Sisingamangaraj II (1545)
- Raja Itubungna / Sisingamangaraja III (1575)
- Sori Mangaraja / Sisingamangaraja IV (1605)
- Ampallongos / Sisingamangaraja V (1635)
- Amangulbuk / Sisingamangaraja VI (1665)
- Ompu Tuan Lombut / Sisingamangaraja VII (1695)
- Ompu Sotarunggal / Sisingamangaraja VIII (1725)
- Ompu Sohalompoan / Sisingamangaraja IX (1755)
- Ompu Tuan Na Bolon / Sisingamangaraja X (1785)
- Ompu Sohahuaon / Sisingamangaraja XI (1815)
- Patuan Bosar / Sisingamangaraja XII (1845)
Pada kesempatan selanjutnya penulis
akan coba membahas lebih banyak tentang kedua belas Raja yang memegang gelar
Sisingamangaraja.
(dikutip dari Buku Toba Na Sae
karya Sitor Situmorang)
5 Perkawinan yang Dilaran dalam Adat Batak
Rate This
Bagi kita orang indonesia terkhususnya
orang Batak, perkawinan merupakan suatu hal yang wajib. Namun dalam adat dan
istiadat orang batak, ada beberapa larangan dalam memilih pasangan hidup untuk
pernikahan. Dan dibeberapa daerah konon hal ini masih sangat tegas hukumnya.
Hukuman bagi pelanggar sangatlah berat. Mulai dari pengusiran dari tanah
huniannya, hingga dibakar hidup-hidup (jika memang sudah sangat fatal). Lalu
larangan larangan apa saja kah yang dimaksud? Berikut Bataklanden merangkum
lima larangan dalam perkawinan Batak.
1. PERKAWINAN ANTARA NAMARPADAN
Padan adalah ikrar janji yang telah
diikat oleh leluhur orang batak dulu yang mengharamkan pernikahan diantara
kedua pihak yang marpadan dengan maksud menjaga hubungan baik diantara
keduanya. Padan ini kemudian diteruskan secara turun temurun hingga sekarang.
Berikut ini marga-marga yang mengikat janji / marpadan :
- Hutabarat & Silaban Sitio
- Manullang & Panjaitan
- Sinambela & Panjaitan
- Sibuea & Panjaitan
- Sitorus & Hutajulu (termasuk Hutahaean, Aruan)
- Sitorus Pane & Nababan
- Naibaho & Lumbantoruan
- Silalahi & Tampubolon
- Sihotang & Toga Marbun (termasuk Lumbanbatu, Lumbangaol, Banjarnahor)
- Manalu & Banjarnahor
- Simanungkalit & Banjarnahor
- Simamora Debataraja & Manurung
- Simamora Debataraja & Lumbangaol
- Nainggolan & Siregar
- Tampubolon & Sitompul
- Pangaribuan & Hutapea
- Purba & Lumbanbatu
- Pasaribu & Damanik
- Sinaga Bonor Suhutnihuta & Situmorang Suhutnihuta
- Sinaga Bonor Suhutnihuta & Pandeangan Suhutnihuta
2. PERKAWINAN DIANTARA NAMARITO
Perkawinan diantara namarito atau
bersaudara / memiliki hubungan darah adalah salah satu pernikahan terlarang
yang sangat berat hukumannya dalam adat batak. Perkawinan namarito bukan hanya
terbatas pada saudara kandung. Namun juga mencakup marga-marga yang masih satu
ikatan. Misalnya larangan menikah diantara marga-marga PARNA yang mencakup 66
marga. Sebagai contoh marga yang masih satu keluarga adalah keturunan RAJA
MARERAK, yaitu SITORUS, MANURUNG, SIRAIT, BUTAR-BUTAR.
3. DUA PUNGU SAPARIHOTAN
Dua Punggu Saparihotan artinya adalah tidak
diperkenankan melangsungkan perkawinan antara saudara abang atau adik laki-laki
marga A dengan saudara kakak atau adik perempuan istri dari marga A tersebut.
Artinya kakak beradik laki-laki memiliki istri yang ber-kakak/ adik kandung,
atau 2 orang kakak beradik kandung memiliki mertua yang sama.
4. PARIBAN NA SO BOI OLION
Ternyata ada Pariban yang tidak bisa
saling menikah, siapa dia sebenarnya? Bagi orang Batak aturan/ ruhut adat Batak
ada dua jenis untuk kategori Pariban Na So Boi Olion, yang pertama
adalah Pariban kandung hanya dibenarkan “Jadian” atau menikah dengan
satu Pariban saja. Misalnya 2 orang laki-laki bersaudara kandung memiliki 5
orang perempuan Pariban kandung, yang dibenarkan untuk dinikahi adalah hanya
salah satu dari mereka, tidak bisa keduanya menikahi pariban-paribannya. Yang
kedua adalah Pariban kandung/ atau tidak yang berasal dari marga anak perempuan
dari marga dari ibu dari ibu kandung kita sendiri. Jika ibu yang melahirkan ibu
kita ber marga A, perempuan bermarga A baik keluarga dekat atau tidak, tidak
diperbolehkan saling menikah.
5. MARBORU NAMBORU / NIOLI ANAK NI
TULANG
Larangan berikutnya adalah jika
laki-laki menikahi boru (anak perempuan ) dari Namboru kandung dan
sebaliknya, jika seorang perempuan tidak bisa menikahi anak laki-laki dari
Tulang kandungnya.
Kisah Simamora (Bagian 1)
Kisah Simamora adalah kisah yang sangat
menarik dan mendidik. Banyak cerita dari Simamora yang diketahui oleh
masyarakat. Mungkin sebagian dari pembaca pernah mendengar istilah “Simamora
Na oto” atau Simamora yang bodoh. Artikel ini tidak bermaksud menghina atau
melecehkan marga tersebut, Sayangnya banyak versi yang beredar di masyarakat
yang terkadang malah berbau negatif.
Artikel kali ini mencoba mengupas salah
satu cerita mengenai Simamora yang menjadi asal usul istilah “Simamora Na oto”
yang sering dilekatkan pada marga tersebut. Bagaimana sebenarnya hal ini bisa
terjadi? Berikut ini, Kisah Simamora Bagian Pertama.
***
Simamora menikahi seorang gadis bernama “Tuanlaen”.
Dia adalah istri pertama Simamora, namun sayang, keluarga ini tidak memiiki
keturunan karena Tuanlaen mandul. Namun demikian, hubungan diantaranya tetap
akur. Simamora tidak pernah menuntut banyak dari istrinya. Sedangkan istrinya,
Tuanlaen sering merasa sedih karena tidak bisa memberikan keturunan kepada
Simamora. Sebagai orang batak yang menganut system kekerabatan Patriliniar,
maka kehadiran seorang putra sangatlah diharapkan untuk dapat meneruskan marga
pihak laki-laki, karena itu Tuanlaen sering menyesali dirinya yang tidak
berguna dan disebutnya sebagai “lapung”.
Beberapa kali , Tuanlaen sering meminta
agar Simamora menikah lagi. Namun Simamora tidak pernah tertarik untuk menikah
lagi.
“Terima saja. Anggaplah ini sebagai
nasib kita.” Jawab Simamora setiap kali Tuanlaen mengajukan sarannya.
“Tapi kalau kau menikah lagi, nasibmu
akan berubah.”
“Siapa yang bisa menjamin?”
Mendengar itu, Tuanlaen menjadi senang
dan merasa bersyukur telah mendapatkan suami yang setia.
Setelah adik laki-lakinya meninggal,
Simamora mengambil usul untuk merawat keempat anak adiknya. Dengan cara
menikahi adik iparnya. Cara ini dikenal dengan ganti tikar sebagai bentuk
pertanggung jawaban terhadap saudara. Mereka lalu tinggaL di daerah Tipang,
Bakkara.
Awalnya kehidupan mereka berjalan baik.
Tuanlaen merawat keempat anak nya seperti anak sendiri, sedangkan istri baru
Simamora merasa senang karena telah terbantu. Simamora pun tidak pernah pilih
kasih kepada kedua istrinya.
Namun setelah anak-anak ini besar,
situasi memburuk. Keempat anaknya lebih menyayangi ibu kandungnya. Keadaan
membuat hubungan kedua istri ini memburuk, bahkan semakin lama keduanya semakin
sulit berkomunikasi.
SIMAMORA DAN PEDAGANG GARAM.
Simamora adalah pedagang garam. Ia
sering bepergian untuk waktu yang lama meninggalkan keluarganya untuk berdagang
garam. Garam - garam ini diambilnya pesisir barat Sumatera untuk
dijualnya ke beberapa pasar yang dilaluinya seperti Pahae, Sipirok,
Silindung, Doloksanggul dan jika dagangan masih tersisa, ia akan menjualnya di
Bakkara di pinggir Danau Toba. Bakul tempat garamnya diletakkan di atas kuda
beban yang menjadi tunggangannya.
Simamora adalah orang yang ramah, dan
jujur dalam berdagang. Banyak dari orang – orang yang bertemu dengan dia merasa
senang berdagang kepadanya. Oleh karena itu, Simamora punya banyak
langganan dan kenalan.
Berdagang garam tidaklah selalu mudah.
Hujan menjadi masalah yang paling utama. Ketika hujan turun, kuda – kuda akan
menjadi bebal dan tidak mau melanjutkan perjalanan. Dan bakul tempat garam pun
tidaklah cukup bagus. Bakul itu terbuat dari anyaman daun kelapa sehingga
kurang aman dari air. Kalau sudah begini, Simamora biasanya harus menginap di
rumah – rumah warga di kampung yang dilaluinya.
Suatu hari, Simamora bertemu dengan dua
orang yang sama – sama berdagang garam. Seiring berjalan waktu, ia semakin
kompak dengan keduanya dan sering pergi berjualan bersama. Simamora sendiri
merasa beruntung mempunyai teman berdagang, selain dia punya teman untuk diajak
bicara selama perjalanan, ia juga merasa terbantu untuk hal lain. Terkadang
jika musim hujan tiba, sungai – sungai meluap. Untuk menyebrangi sungai, mereka
harus menarik kuda beban karena kuda tidak mau menyebrangi sungai. Terkadang
kuda ini sangat bebal sehingga harus ditarik oleh dua orang atau lebih.
Sepanjang perjalanan, Simamora mendapat
pelanggan lebih banyak dari kedua rekannya, karena Simamora dianggap
orangnya lebih jujur dan jualannya juga tidak terlalu mahal. Hal ini
mengundang kecemburuan bagi kedua rekannya. Sering keduanya menggerutu karena
tidak mendapat pelanggan. Terkadang mereka harus menunggu sampai dagangan
simamora habis, baru mereka kebagian pelanggan.
Kekesalan ini semakin memuncak sampai
suatu ketika mereka merencanakan untuk memberi Simamora pelajaran.
Pada suatu sore, Simamora bersama kedua
rekannya terpaksa menginap di warung kopi di satu desa sebelum masuk pasar
Doloksanggul karena hujan sedang turun. Warung itu kosong pada malam hari.
Pemiliknya tinggal di kampung lain, agak jauh dari tempat itu. Setelah bakul
garam diturunkan dari punggung kuda, mereka menambatkan kuda-kudanya di dekat
rerumputan sekitar warung. Mereka bercengkrama sambil melinting tongkol jagung
yang dijadikan rokok.
Kedua rekannya yang sudah lama mencari
kesempatan untuk mencelakai Simamora merasa kalau inilah waktunya untuk
memberinya pelajaran. Mereka berencana untuk mencuri kuda dan garam – garam
Simamora selagi dia tidur. Dengan demikian, ia tidak bisa berjualan garam lagi.
Berkuranglah saingan.
Malamnya, kedua rekannya itu
menyarankan agar sebaiknya mereka bergantian jaga. Dua orang tidur sedangkan
seorang lagi jaga. Demikian lah bergantian hingga pagi tiba.
“Apa perlu begini ? Toh, selama ini
juga tidak pernah terjadi apa-apa” kata Simamora.
“Itu tidak menjamin kalau disini aman
selamanya.” Jawab mereka.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita
menyembunyikan garam masing-masing.” Usul Simamora.
“Dimanapun kau menyembunyikannya,
garammu pasti bisa ditemukan di warung yang sekecil ini.”
“Tidak mungkin bisa ditemukan.” Jamin
Simamora.
“Aku tidak yakin. Bagaimana kalau aku
bisa menemukan garammu?” Tanya seorang.
“Garamku menjadi milik kalian.”
“Kalau tidak ?” Tanya seorang lagi.
“Garam kalian menjadi milikku.”
“Baik.” Ketiganya pun sepakat.
“Sembunyikanlah garammu.” Kata mereka.
Lalu simamora pergi membawa garamnya.
Tidak sampai dua menit ia sudah kembali. Kedua rekannya lalu menyalaminya tanda
perjanjian sah.
“Bagaimana kalau kuda kita pertaruhkan
juga?” Usul mereka berdua karena merasa yakin garam tersebut tidak jauh
disembunyikan mengingat waktu yang diambil Simamora tidak lama.
“Boleh juga” tantang Simamora
“Baiklah” sambut mereka.
Malam itu Simamora tidur dengan
lelapnya. Seperti tidak ada yang sedang dipikirkannya. Berbeda dengan kedua
rekannya yang tidak sabar menunggu pagi tiba. Mereka yakin sekali garam itu
disembunyikan di dapur. Mereka ingin sekali langsung mencari garam tersebut dan
membawa kuda Simamora pergi. Tapi mereka harus berlaku adil sesuai perjanjian.
Pagi – pagi benar mereka sudah bangun.
Ingin rasanya cepat – cepat menemukan garam tersebut. Akan tetapi untuk
menunjukkan kalau mereka berlaku adil, mereka menunggu hingga Simamora bangun.
Setelah simamora bangun, ketiganya melinting rokok. Lalu masing – masing
menikmatinya tanpa ada yang berselera memulai bicara. Rokok semakin pendek dan
setelah api rokok menyentuh jari, keduanya mengingatkan simamora tentang
kesepakatan mereka.
“Silahkan cari.” Kata simamora singkat.
“Sebaiknya kita naikkan dulu beban kuda
kita.” Kata seorang
“Bagus juga.” Balas yang seorang lagi.
“Kuda yang ketiga tinggal dimuat lalu dituntun.”
“Aku khawatir kalian tidak kembali lagi
karena malu.” Simamora tersenyum simpul.
Keduanya tidak menjawab. Mereka
langsung bergegas. Mereka memulainya dengan menyisir dapur, sekitar rumah,
hingga kebun. Dapur penuh dengan barang – barang yang ditumpuk begitu saja.
Ternyata tidak ada. Di kebun, sekitar sumur hingga sekitar kampung juga tidak
ada. Mereka kembali ke dapur membongkar barang-barang yang ditumpuk. Tetapi
tetap tidak ketemu.
“Dua menit. Mungkinkah keluar kampung?”
Tanya yang satu.
“Kalau berlari, bisa juga…” sahut yang
satu sambil menggaruk – garuk kepalanya.
Lalu mereka memeriksa bambu bambu
pembatas kampung. Tetapi tetap saja tidak ada. Semak belukar, tumpukan sampah
juga tidak lepas dari penggeledahan mereka. Tanpa disadari mereka sudah cukup
jauh keluar dari desa.
Setelah menunggu cukup lama, Simamora
memeriksa. Tetapi rekannya belum kembali juga. Hanya ada tukang warung yang
baru sampai dan sedang menjerangkan air dari sumur. Si Tukang warung merasa
heran melihat banyaknya barang yang berantakan di dapur. Sebelum ia sempat
menanyakan tentang barang – barang tersebut, Simamora telah pergi membawa kedua
kuda dan garam – garam rekannya itu.
Walau kaget dengan kondisi dapur yang
berantakan, si pemilik warung tidak langsung memeriksanya. Ia terlebih dahulu
menjerangkan air karena pagi – pagi biasanya banyak pengunjung yang ingin minum
kopi. Tukang warung memeriksa dapur yang diobrak – abrik entah oleh
siapa. Dan entah untuk apa. Ia tidak melihat adanya barang – barang yang
hilang. Untuk memastikan perasaannya, ia menghitung seluruh jumlah karung padi
di lumbung, kemudian alat – alat pertanian, tidak ada yang hilang. Sambil
mengira – ngira apa yang telah terjadi, ia merapikan barangnya.
Air telah mendidih dan dia segera
melayani langganannya. Tanpa menceritakan kejadian di dapurnya. Tak lama kedua
pedagang yang kalah taruhan telah kembali. Mereka mendapati kalau Simamora
sudah pergi bersama kuda – kuda dan keempat bakul garam yang telah
dimenangkannya.
Saat itu di warung sedang ada desas
desus antara pengunjung. Keduanya yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tidak
terlalu memperdulikannya.
“Kopi dua !” pesan mereka.
Tak lama berselang seseorang diantara
pengunjung angkat bicara.
“Koq kopinya asin?” katanya
Kedua pedagang yang mendengar hal itu
saling berpandangan. Seperti akan mengatakan sesuatu. Buru – buru keduanya
mencicipi kopi mereka.
“Benar ! Kopinya asin !”
“Sungguh, disini tidak ada tempat
garam.” Kata yang punya warung. “Gelas dan sendok sudah saya cuci. Mana mungkin
bisa asin?”
“Jangan – jangan…” gumam seorang
pedagang itu.
“Jangan – jangan simamora
menyembunyikan garam di dalam sumur !”
Keduanya langsung melompat dari tempat
duduknya dan memeriksa sumur di belakang warung. Galah dijulurkan ke dalam dan
dua buah bakul berhasil diangkat dari dalam. Warga di sekitar mengenali bakul
tersebut sebagai bakul garam yang biasa dibawa Simamora.
“Lihat !” Kata salah satu pedagang
tersebut. “Ini bakul Simamora. Dia benar – benar bodoh, menyembunyikan garam di
dalam sumur.”
“Kenapa ?” Tanya seorang dari kerumunan
itu.
“Karena dia takut garamnya dicuri
orang.” Jawab rekan pedagang itu.
“Bodoh benar (oto ma i)” piker
orang – orang di warung itu.
“Memang bodoh” ucap kedua pedagang itu.
Mereka melakukannya untuk menyembunyikan kemalangan mereka yang telah kalah
taruhan.
Berita tentang garam masuk sumur ini
langsung cepat menyebar. Kedua pedagang ini juga menceritakan tentang “simamora
yang bodoh” (Simamora na oto) kepada setiap orang yang ditemuinya. Namun
tidak pernah menceritakan bahwa Simamora yang membodohi mereka.
Kisah Simamora (Bagian Kedua)
Bulan Menjadi Dua
Di perbatasan Silindung dengan Pahae,
tinggallah seorang pemilik kebun yang kaya raya. Dia dipanggil Nalobian.
Menurut pengakuannya, dialah yang paling kaya di daerah tersebut. Selain kaya,
Nalobian juga mengklaim dirinya paling pintar, paling tampan, paling segalanya.
Paling ditakuti dan paling berpengaruh di Desa Pahae.
Na lobian, dalam bahasa setempat
berarti “yang berlebih” adalah gelar yang sangat dibanggakannya. Banyak
penduduk desa dan pemuda rantau yang bekerja di kebunnya.Adayang menggarap
tanahnya dengan system bagi hasil, banyak pula yang bekerja sebagai buruh upahan.
Orang –orang desa sebenarnya tidak senang melihatnya. Tapi tidak ada yang
berani menentangnya.
Adalah sebuah kebiasaan buruk yang
sudah berlaku lama di desa itu. Apabila Nalobian sedang minum di warung
manapun, tidak ada yang berani memesan apapun. Dan tukang warung pun tidak
berani melayani mereka. Mereka harus menunggu Nalobian selesai. Selama Nalobian
masih berada di warung, biasanya tidak seorangpun yang berani mengangkat
bicara. Mereka hanya boleh mendengar Nalobian membual tentang kelebihannya.
Setelah ia pergi barulah orang – orang memesan dan suasana warung boleh ramai,
bebas dan santai.
Pada suatu sore, Simamora singgah di
warung dimana Nalobian sedang minum kopi. Ketika itu banyak orang desa yang
duduk di bangku – bangku panjang dengan sikap tegang. Mereka mendengar
Nalobian membual tanpa berani member tanggapan. Hanya terlihat beberapa orang
yang sesekali mengangguk – angguk. Itupun bukan berarti mereka memahami atau
mengamini ucapannya. Anggukan mereka hanya gerakan kepala biasa tanpa makna.
Meja disamping mereka kosong. Simamora
langsung bergabung dengan mereka setelah menambatkan kudanya di salah satu
pohon di samping warung dan meletakkan bakulnya agak di bagian dalam warung.
Sore itu cuaca panas. Simamora merasa haus setelah menempuh perjalanan jauh dan
melelahkan. Sebelum duduk ia memesan minumannya,
“Kopi satu !”
Pelayan warung tidak bereaksi. Hanya
terlihat kikuk mendengar suara Simamora.
“Kopi!” Simamora mengulangi pesanannya
dengan suara yang lebih keras dan lebih tegas.
“Oh… ia Kata pelayan warung itu tanpa
bergeming dari tempat duduknya.
“Pelayanannya kok lambat benar…” gerutu
Simamora.
“Bukan lambat, anda saja yang tidak
mengerti.” Bisik pelayan tersebut sembari meletakkan kopi pesanan Simamora di
mejanya.
“Maksudmu?” Tanya Simamora yang
kebingungan.
“Apa anda tidak melihat Nalobian sedang
minum?” Tanya penjaga warung sambil megarahkan pandangannya kepada orang yang
dimaksud.
“Apa hubungannya?” simamora kembali
bertanya.
“Disini tidak ada yang berani minum
selama Tuan Nalobian belum selesai.” Jawab seseorang dari kumpulan yang sedang
minum itu.
Mendengar itu, Simamora merasa jengkel
juga. Ingin rasanya memberi pelajaran kepada orang yang dipanggil Nalobian itu.
Nalobian sendiri dengan sengaja memperlambat menghabiskan minumannya. Setelah
meneguk sedikit kopinya, ia kemudian meletakkannya lalu merentangkan kedua
tangannya. Nalobian bersantai.
“Kenapa mesti begitu?” Simamora
bertanya lagi.
Pelayan warung lalu menjelaskan, “Siang
harikanhanya ada satu matahari.”
“Terus…?” Tanya Simamora
“Malam hari juga hanya ada satu bulan.
Dan disini juga hanya ada satu Nalobian….”
Sebelum pelayan selesai bicara,
Simamora langsung memotongnya.
“Pantas…Ternyata desa ini orang –
orangnya masih kolot.”sela Simamora sambil meluruskan kakinya setengah bersandar.
“Apa Maksudmu ?” Nalobian yang dari
tadi hanya diam sekarang angkat bicara.
“Maksudku orang – orang disini masih
sulit maju karena belum pernah melihat bulan ada dua” Sahut Simamora.
“Bulan ada dua?”
“Iya…”
“Sekaligus ?”
Ya… Bulan ada dua sekaligus.” Simamora
mempertegasnya. Mendengar itu, Nalobian merasa tertantang.i desa ini belum
pernah ada yang lebih pintar dari dirinya. dia merasa dipermalukan di depan
warganya sendiri.
“Orang desa ini yang kolot, Apa kau
yang bodoh?” Tanya Nalobian dengan suara lantang.
“Aku sanggup membuktikan apa yang aku
katakana.” Sahut Simamora datar.
“Berani taruhan?”
“Aku tidak punya barang berharga untuk
dipertaruhkan.”
“Baik, Begini saja.” Kata Nalobian
penuh nafsu. “Kalau kau tidak sanggup memperlihatkan dua bulan sekaligus, kuda
dan semua barangmu aku ambil. Dan kaupun akan menjadi budakku. Selamanya !”
tawar Nalobian.
“Kalau aku sanggup? Bagaimana?” Tanya
Simamora.
“Semua hartaku menjadi milikmu.” Sahut
Nalobian.
Mendengar itu semua orang yang berada
di warung terperanjat. Mereka sepertinya tidak percaya apa yang mereka dengar.
Masing – masing membetulkan cara duduknya sambil memasang telinga.
“Baik. Malam ini akan aku buktikan.”
Janji Simamora.
Dengan muka merah padam dan wajah penuh
dendam Nalobian meninggalkan warung tersebut sambil berpesan agar warga dating
sebagai saksi.
“Pasti !” Teriak mereka serentak.
*
* *
Malam itu bulan berada di atas kepala.
Orang – orang sudah berkumpul di sekitar warung. Jumlahnya jauh lebih banyak
dari pagi tadi. Mereka ingin menyaksikan pertarungan dua orang pintar dengan
pertaruhan yang cukup menakjubkan. Apalagi yang bertaruh pada malam itu adalah
Nalobian yang mereka kenal memiliki banyak harta berlebih namun pelit dan angkuh.
(Ya ialah, masa ada orang kaya minum kopi di warung?) Hampir seluruh
warga mendengar bahwa Nalobian mempertaruhkan seluruh hartanya. Sebagian orang
merasa pesimis Simamora bisa memenangkan pertaruhan ini karena mereka tidak
pernah melihat bulan muncul dua buah sekaligus.
“Apa menurutmu Simamora itu bisa
membuktikan kata – katanya?” Tanya seseorang diantara kerumunan kepada seorang
lain.
“Ya, berharap saja besok kita tidak
kolot lagi…” Jawabnya setengah meledek.
Setelah Nalobian tiba di warung
tersebut, para warga langsung meminta Simamora membuktikan kata – katanya.
Bahwa bulan terbit dua buah sekaligus.
Dengan tenang Simamora mengeluarkan
sebuah ember besar yang ditutupinya dengan pohon pisang. Dia meletakkan ember
tersebut diatas meja yang terletak di luar warung. Para warga yang hadir
mengerumuni meja tersebut. Simamora dan Nalobian berdiri berhadapan di kedua
sisi meja. Orang – orang semakin mendekat tetapi tidak seorangpun yang
berkomentar. Mereka menunggu siapa diantara mereka yang akan menanggung malu.
Tanpa ekspresi yang berarti Simamora menunjuk bulan di langit dengan satu jari.
Dengan spontan orang – orang yang hadir di sana berteriak;
“Satu !”
“Iya,” Sahut Nalobian geram. Setelah
membuka daun pisang, Simamora menunukkan ke arah ember dengan dua jari.
Nalobian kaget ! Dia mundur selangkah, Tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya.
Selang beberapa detik ia mendengar
warga berteriak, “Dua !!!”
Serentak seluruh warga yang hadir
bertepuk tangan menyambut kemenangan Simamora. Melihat kenyataan itu, Nalobian
tertunduk lemas di kursinya. Dia hampir pingsan.
“Sita … ! Sita … !” Teriak sebagian
warga. Mereka meluapkan kedongkolan yang selama ini terpendam di hati mereka.
Inilah saat yang tepat untuk menghapus kesombongan Nalobian dari desa itu.
Simamora mengangkat kedua tangannya
menentramkan massa yang berjubel itu.
“Aku tidak punya bakat menjadi orang
kaya. Biarlah ia mengurus sebagian hartanya. Akan tetapi hak atas tanah, hutan
kemenyan harus dilepas. Menjadi milik umum. Tanah yang disewakan diserahkan kepada
orang yang menggarapnya. Dan yang terpenting,” Tambah Simamora. “Hak
untuk dilayani sendiri di warung harus dihapuskan !”
“Setuju ! Setuju ! Setuju !” Warga
berteriak kegirangan menyambut keputusan Simamora.
Dan sejak itu warga desa mempunyai hak
yang sama atas tanah, kebun, hutan dan lain – lain. Suasana di warung pun sudah
tidak seperti dulu lagi. Sekarang mereka bebas memesan minuman dan bebas
berbicara tanpa ada yang harus ditakuti. Sedangkan untuk Nalobian ? Hmmm…….
Anda sendirilah yang tebak.
Dikutip dari : Roha 3 – Kisah Simamora
Karya B.H Situmorang
Anak Sasada, Film Berbahasa Batak Pertama di Indonesia
Liputan6.com, Medan: Film berjudul Anak Sasada
merupakan film pertama yang menggunakan bahasa Batak Toba, dalam format layar
lebar yang mengisahkan tentang kemiskinan dan pendidikan orang di desa yang harus
merantau ke kota.
“Para pemain film itu tidak seluruhnya
berasal dari etnik Batak Toba. Tetapi ada juga suku Melayu, Jawa dan
Simalungun,” kata Thompson HS, penulis skenario film ini, Selasa (24/5).
Produser dan sutradara film tersebut
adalah Pontianus Gea, pria seorang suku Nias yang pernah studi film di Italia
selama dua tahun. Menjadi kejutan yang menarik, ketika seorang di luar suku
Batak tertarik membuat film berbahasa Batak Toba, sekaligus membiayainya.
Dia menyebutkan, para pemain yang tidak seluruhnya orang Batak tersebut sangat tertarik untuk belajar bahasa Batak, dibantu penyelaras bahasa, Manguji Nababan, seorang Batakolog.
Dia menyebutkan, para pemain yang tidak seluruhnya orang Batak tersebut sangat tertarik untuk belajar bahasa Batak, dibantu penyelaras bahasa, Manguji Nababan, seorang Batakolog.
Rekomendasi lokasi syuting, lanjutnya,
dilakukan atas kepercayaan produser, dengan total skenario yang murni
menggunakan bahasa Batak Toba, meskipun dengan sedikit campuran dialek yang
bisa ditemukan dalam percakapan orang Toba selama ini.
“Pembuatan film ini dibantu sejumlah
kru orang Nias, yang pernah mengenyam pendidikan lebih maju, sebagai upaya
adaptasi film berjudul Ono Sitefuyu yang meraih sukses di pasaran,”
katanya.
Pengambilan gambar tersebut dilakukan
di Kota Balige dengan latar belakang kapal “paronan” (pedagang) dari Bakkara,
24 -26 Mei 2011. “Syuting terakhir akan dilengkapi diskusi dan pemutaran
cuplikan film di SMU Negeri Plus Yayasan Soposurung Balige, 26 Juni 2011,” kata
Thompson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar