Rabu, 08 Agustus 2012

Asal Mula Suku Batak dan Adat Istiadat Orang Batak

Judika Asima Naibaho
Soban, 24 November 1992
AndesSoM@n


Ada banyak versi yang berkembang di masyarakat tentang asal usul Suku Batak itu sendiri. Salah satu hal yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya informasi sejarah yang dapat diteliti dikarenakan banyak dari benda – benda sejarah suku Batak hilang pada saat penjajahan Belanda dan Perang melawan Padri (atau lebih dikenal dengan tingki ni par padiri). Dalam artikel ini penulis mencoba mengambil jalur historis dimana disebutkan bahwa asal usul Bangsa Batak adalah dari daerah Asia.
Judikanaibaho@blogspot.com
Suku Bangsa Batak semula adalah satu dari Suku Melayu Pegunungan (orang pendalaman yang tinggal dan terisolir di pegunungan) di pegunungan  perbatasan Burma / Siam (Thailand). Disana suku Bangsa Batak tinggal dengan suku – suku Bangsa Suku Melayu Pegunungan lainnya seperti Suku Bangsa Karen, Igorot, Toraja, Bontok, Ranau, Meo, Tayal, Waco.
Suku bangsa ini selama ribuan tahun terpisah dari pengaruh dunia luar (splendid isolation), mereka seluruhnya adalah orang – orang pegunungan yang cenderung mengurung diri di pegunungan dan menolak segala hubungan dengan dunia luar terutama orang – orang pesisir (Suku Melayu Pesisir).
Pada + 3000 SM Bangsa Mongol melakukan pelebaran wilayah kekuasaan mereka ke arah Selatan, sepanjang Sungai Irwandi, Salween, serta Mekong. Situasi ini mendesak orang – orang yang bukan hanya dari kalangan Suku Melayu Pesisir (orang pesisir) tetapi juga Suku Palae Mongoloid (nenek moyang orang orang Siam, Kamboja, Laos, Viet, dan Dayak. Akibat expansi ini, suku Siam mulai mendapat terpengaruh agama Budha. Berbeda dengan Suku Dayak yang terlanjur jauh berpindah ke pendalaman hutan Kalimantan.
Desakan yang dilakukan suku Mongol terhadap Palae Mongoloid memaksa Palae Mongoloid mendesak  pula ke atas naik ke pegunungan meninggalkan daerah pesisir, ke wilayah Suku Melayu Pegunungan. Inilah yang disebut dengan desakan secara Transcendental. Akibat desakan ini, kalangan Suku Melayu Pegunungan sebagian besar terdesak hingga ke tepi laut di Teluk Martaban dan berlahan – lahan terkena pengaruh budaya Hindu dimana dapat dipahami banyak istilah – istilah Hindu yang mereka adopsi masuk ke dalam bahasa – bahasa Suku Melayu Pegunungan antara lain ke dalam Bahasa Batak. Istilah – istilah seperti ; Debata, Singa, Surgo, Batara, Mangaraja dan lain – lain.
Masyarakat Suku Melayu Pegunungan yang aslinya adalah orang – orang pegunungan tentu tidak merasa nyaman berada di daerah pinggiran mengingat banyaknya ancaman dari pengaruh luar yang bisa datang mempengaruhi. Sangat jauh berbeda dari kebiasaan mereka yang suka menutup diri di pegunungan dari pengaruh luar.
Akhirnya kelompok ini terpecah. Suku Bangsa Bontok, Igorot dan suku Suku Melayu Pegunungan lain yang kecil sangat banyak pergi ke daerah Filiphina dan membentuk kelompok baru (seperti Bangsa Tagalog) dan hingga kini masih berada disana dan menolak masuknya agama luar.
Suku Bangsa Tayal pergi ke puncak puncak gunung – gunung di Taiwan (Formosa). Sejak 3.000 tahun hingga sekarang tidak terpengaruh oleh perebutan tanah di daerah pesisir dan tanah datar Taiwan oleh bangsa – bangsa dari Tiongkok, Belanda dan Jepang. Namun setelah Perang Dunia kedua, mereka dikristenkan oleh pendeta dari Kanada yang datang membawa modern medical science.
Suku Bangsa Toraja mendarat di Sulawesi. Dan disana mereka berbaur dengan suku – suku bangsa Bugis dan Makasar hingga sekarang. Agama islam sendiri sudah ada disini sejak 400 tahun sebelumnya namun suku bangsa Toraja dengan gigih menolak pengaruh islam. Pada abad ke-20 Agama Kristen masuk ke Toraja oleh Pendeta – pendeta yang datang dari Belanda membawa modern medical science.
Lain pula dengan Suku Bangsa Karen yang tetap bertahan di Pegunungan Burma. Hingga sekarang kabarnya masih sering bersengketa dengan suku bangsa lainnya yang sudah membentuk Republik Burma. Suku Bangsa Karen tetap menolak agama Budha yang menjadi agama mayoritas di Burma yang kemudian pada abad ke-19 di Kristenkan oleh Pendeta – Pendeta Inggris.
Suku bangsa Ranau mendarat di Sumatera Selatan dan mengurung diri dari pengaruh luar di sekitar Danau Ranau selama kurang lebih 2500 tahun. Lepas dari segala pengaruh Kerajaan Sriwijaya, Darmasraya dan kerajaan- kerajaan lain yang silih berganti muncul dan lenyap di Sumatera Selatan. Banyak dari suku Ranau dibunuh oleh Kesultanan Banten yang membutuhkan sekitar Danau Ranau untuk penanaman merica untuk di ekspor.
Suku Bangsa Meo juga sama seperti Suku Karen yang memilih bertahan di pegunungan. Mereka terdesak ke seberang lautan dan secara tak terduga menjadi terkenal disana oleh bisnis candu yang memang tumbuh subur di daerah itu. Candu ini kemudian dijual ke hampir seluruh penjuru dunia. Namun tetap terisolir dari pengaruh modernisasi.
Sementara untuk suku Wajo mereka memilih lautan. Mereka menetap disana dan menjadi Sea-Nomads. Orang – orang Wajo tersebar di lautan mulai dari Lingga Archipelago sampai ke Filiphina.
Suku Bangsa Batak mendarat di Pantai Barat Pulau Andalas. Disana suku Batak sudah segera terpecah menjadi beberapa bagian sebagai berikut :
Kelompok Pertama Melanjutkan pelayaran dan mendarat di Simalur, Nias, Batu, Mentawai, Siberut dan lain – lain hingga ke Enggano.
Kelompok Kedua mendarat di Muara Sungai Simpang (Singkil Sekarang) Masuk ke pendalaman dan menetap di Kutacane. Dari sana mereka menduduki seluruh pendalaman Aceh. Inilah yang kemudian menjadi Suku Batak Gayo dan Batak Alas. Walau berada di wilayah Aceh namun kelompok ini tidak pernah terpengaruh oleh Aceh. Tulisan dan Bahasa tetaplah Batak.
Kelompok Ketiga mendarat di Muara Sungai Sorkam (antara Barus dan Sibolga). Masuk ke pendalaman mencari daerah yang terisolir dan bermukim di kaki gunung Pusuk Buhit. Inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal orang Batak sekarang.
Suku Batak di Tanah Batak mendirikan permukiman yang pertama di tepi Danau Toba di kaki Gunung Pusuk Buhit yang bernama Sianjur Sagala Limbong Mulana. Tempat ini sangat terjamin dimana jika dilihat dari segi geografisnya sendiri, permukiman ini berada di ketinggian 900 meter berada jauh dari pinggir danau Toba dan memiliki sumber air untuk irigasi yang sangat banyak.
(Dikutip dari buku Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggang Parlindungan)


Kita sebagai orang Batak tentu tidak asing dengan nama Sisingamangaraja, Namun mungkin tidak banyak diantara kita yang tahu sebenarnya bagaimana gelar Sisingamangaraja itu muncul pertama sekalinya, dan siapakah orang pertama yang memegang gelar Sisingamangaraja itu sendiri ? Artikel ini akan coba membahas hal ini dengan menggunakan sumber dari buku “Toba Na Sae” karya Sitor Situmorang.
Lahirnya seorang putra Lembah Bakkara, yang kemudian menjadi Sisingamangaraja I tertuang dalam sebuah mitos. Sebagaimana halnya kebanyakan mitos, mitos Sisingamangaraja memiliki berbagai versi. Artikel ini membatasi diri pada satu versi dalam bentuk ringkasannya berdasarkan teks tradisi lisan. Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, tradisi lisan tersebut dicatat dalam aksara latin.
Tersebutlah seorang bernama Bona Ni Onan, bungsu dari tiga putra Sinambela. Anak bungsu ini ketika dewasa sering pergi berjalan jauh, mengembara untuk waktu yang agak lama. Suatu waktu, ketika dia pulang dari perjalanan beberapa tahun lamanya, ia mendapati istrinya Boru Borbor sedang hamil tua. Masalah kesetiaan istri timbul pula dikalangan masyarakat umum Bakkara. Dalam situasi penuh keraguan pada suatu malam sang suami bermimpi didatangi roh. Roh itu mengatakan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak menjadi raja yang bergelar Sisingamangaraja. Setelah mimpi itu, sang suami bertanya kepada isteri dan putri semata wayangnya.
Sang istri bercerita bahwa suatu kali ketika dirinya sedang mandi di tombak sulu sulu (hutan rimba) mendadak terdengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Tidak lama kemudian sang isteri mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia yakin bahwa kehamilannya adalah buah pertemuannya dengan Roh Batara Guru. Masyarakat menerima kebenaran makna peristiwa itu. Dan setelah masa kehamilan yang sangat lama (19 bulan) istrinya pun melahirkan seorang putra. Anak itu diberi nama Manghuntal karena kelahirannya disertai badai topan dan gempa bumi dahsyat. Kata Manghuntal berarti gemuruh gempa.
Dimasa remaja Manghuntal menunjukkan tanda – tanda atau sifat – sifat ajaib yang memperkuat ramalah bahwa dirinya akan menjadi raja. Setelah dewasa ia melakukan perjalanan untuk mendapatkan pengakuan atas kesaktian yang dimilikinya. Manghuntal pergi menyebrangi samudera melewati Barus ke suatu pulau tempat Raja Mahasakti bernama Raja Uti. Tujuan dia kesana ialah untuk mendapatkan seekor gajah putih. Setelah sampai di tempat itu ia tidak dapat langsung bertemu dengan Raja tersebut. Menurut istrinya, Baginda sedang pergi melakukan perjalanan jauh dan tidak tahu entah kapan kembali.
Manghuntal memilih untuk menunggu Raja tersebut. Sambil menunggu ia ditawarkan makan oleh istri Baginda. Saat itu Manghuntal meminta sayur daun ubi rambat. Dan ketika manghuntal mengangkat sayuran di tangannya ke mulutnya dengan pandangan mengarah ke atas rumah (layaknya orang yang memakan sayur) ia melihat Raja Uti bersembunyi di atas atap rumah. Ternyata moncongnya seperti moncong babi. Raja Uti lalu turun dan bertukar sapa dengan Manghuntal. Manghuntal menyampaikan permohonannya yaitu meminta seekor gajah putih . Raja Uti menyetujuinya dengan syarat Manghuntal harus mengumpulkan dan membawakan sejumlah pertanda dari berbagai wilayah di Toba sebagai bukti kelayakannya menjadi Raja.
Manghuntal kemudian pulang ke Toba dan kembali ke Barus membawa pertanda – pertanda yang diminta. Setelah semua pertanda diberikan kepada Raja Uti, Manghuntal diberikan gajah putih dan sejumlah barang pusaka, diantaranya sebilah keris keramat yang ia beri nama Piso Gajah Dompak dan sebuah tombak yang ia namai Hujur Siringis.
Keris Piso Gajah Dompak konon hanya dapat dibuka dari sarungnya oleh orang yang memiliki kesaktian. Dan Manghuntal membuktikan kemampuannya di depan masyarakat Toba dimana ia berhasil mencabut keris ini dari sarungnya dalam upacara penobatannya sebagai Raja yang bergelar Sisingamangaraja. Berikutnya tradisi membuka sarung Piso Gajah Dompak menjadi tradisi wajib dalam memberikan gelar kepada penerus gelar Sisingamangaraja.
Sekarang Keris Piso Gajah Dompak itu menurut kabarnya berada di salah satu museum di Belanda bersama sama dengan stempel kerajaan Sisingamangaraja.
Lahirnya Sisingamangaraja I di Bakkara dapat dikatakan terhitung mulai dari Turunan yang ke-8 dari garis silsilah kira – kira sama dengan 200 – 300 tahun sesudah Si Raja Batak.
TARIKH SEJARAH BATAK
Berikut ini silsilah Sisingamangaraja dimulai dari Si Raja Batak hingga Sisingamangaraja XII. Data kelahiran diambil dari perhitungan rata – rata 1 generasi yaitu 30 tahun.
  1. Si Raja Batak (Lahir tahun 1305)
  2. Raja Isombaon (1335)
  3. Tuan Sori Mangaraja (1365)
  4. Tuan Sorba Dibanua (1395)
  5. Si Raja Oloan (1425)
  6. Toga Sinambela (1455)
  7. Raja Bona Ni Onan (1485)
  8. Raja Manghuntal / Sisingamangaraja I (1515)
  9. Raja Tinaruan / Sisingamangaraj II (1545)
  10. Raja Itubungna / Sisingamangaraja III (1575)
  11. Sori Mangaraja / Sisingamangaraja IV (1605)
  12. Ampallongos / Sisingamangaraja V (1635)
  13. Amangulbuk / Sisingamangaraja VI (1665)
  14. Ompu Tuan Lombut / Sisingamangaraja VII (1695)
  15. Ompu Sotarunggal / Sisingamangaraja VIII (1725)
  16. Ompu Sohalompoan / Sisingamangaraja IX (1755)
  17. Ompu Tuan Na Bolon / Sisingamangaraja X (1785)
  18. Ompu Sohahuaon / Sisingamangaraja XI (1815)
  19. Patuan Bosar / Sisingamangaraja XII (1845)
Pada kesempatan selanjutnya penulis akan coba membahas lebih banyak tentang kedua belas Raja yang memegang gelar Sisingamangaraja.
(dikutip dari Buku Toba Na Sae karya Sitor Situmorang)


5 Perkawinan yang Dilaran dalam Adat Batak







Rate This

Bagi kita orang indonesia terkhususnya orang Batak, perkawinan merupakan suatu hal yang wajib. Namun dalam adat dan istiadat orang batak, ada beberapa larangan dalam memilih pasangan hidup untuk pernikahan. Dan dibeberapa daerah konon hal ini masih sangat tegas hukumnya. Hukuman bagi pelanggar sangatlah berat. Mulai dari pengusiran dari tanah huniannya, hingga dibakar hidup-hidup (jika memang sudah sangat fatal). Lalu larangan larangan apa saja kah yang dimaksud? Berikut Bataklanden merangkum lima larangan dalam perkawinan Batak.
1. PERKAWINAN ANTARA NAMARPADAN
Padan adalah ikrar janji yang telah diikat oleh leluhur orang batak dulu yang mengharamkan pernikahan diantara kedua pihak yang marpadan dengan maksud menjaga hubungan baik diantara keduanya. Padan ini kemudian diteruskan secara turun temurun hingga sekarang. Berikut ini marga-marga yang mengikat janji / marpadan :
  • Hutabarat & Silaban Sitio
  • Manullang & Panjaitan
  • Sinambela & Panjaitan
  • Sibuea & Panjaitan
  • Sitorus & Hutajulu (termasuk Hutahaean, Aruan)
  • Sitorus Pane & Nababan
  • Naibaho & Lumbantoruan
  • Silalahi & Tampubolon
  • Sihotang & Toga Marbun (termasuk Lumbanbatu, Lumbangaol, Banjarnahor)
  • Manalu & Banjarnahor
  • Simanungkalit & Banjarnahor
  • Simamora Debataraja & Manurung
  • Simamora Debataraja & Lumbangaol
  • Nainggolan & Siregar
  • Tampubolon & Sitompul
  • Pangaribuan & Hutapea
  • Purba &  Lumbanbatu
  • Pasaribu & Damanik
  • Sinaga Bonor Suhutnihuta & Situmorang Suhutnihuta
  • Sinaga Bonor Suhutnihuta & Pandeangan Suhutnihuta

2. PERKAWINAN DIANTARA NAMARITO
Perkawinan diantara namarito atau bersaudara / memiliki hubungan darah adalah salah satu pernikahan terlarang yang sangat berat hukumannya dalam adat batak. Perkawinan namarito bukan hanya terbatas pada saudara kandung. Namun juga mencakup marga-marga yang masih satu ikatan. Misalnya larangan menikah diantara marga-marga PARNA yang mencakup 66 marga. Sebagai contoh marga yang masih satu keluarga adalah keturunan RAJA MARERAK, yaitu SITORUS, MANURUNG, SIRAIT, BUTAR-BUTAR.

3. DUA PUNGU SAPARIHOTAN
Dua Punggu Saparihotan artinya adalah tidak diperkenankan melangsungkan perkawinan antara saudara abang atau adik laki-laki marga A dengan saudara kakak atau adik perempuan istri dari marga A tersebut. Artinya kakak beradik laki-laki memiliki istri yang ber-kakak/ adik kandung, atau 2 orang kakak beradik kandung memiliki mertua yang sama.

4. PARIBAN NA SO BOI OLION
Ternyata ada Pariban yang tidak bisa saling menikah, siapa dia sebenarnya? Bagi orang Batak aturan/ ruhut adat Batak ada dua jenis untuk kategori Pariban Na So Boi Olion, yang pertama adalah Pariban kandung hanya dibenarkan “Jadian” atau menikah dengan satu Pariban saja. Misalnya 2 orang laki-laki bersaudara kandung memiliki 5 orang perempuan Pariban kandung, yang dibenarkan untuk dinikahi adalah hanya salah satu dari mereka, tidak bisa keduanya menikahi pariban-paribannya. Yang kedua adalah Pariban kandung/ atau tidak yang berasal dari marga anak perempuan dari marga dari ibu dari ibu kandung kita sendiri. Jika ibu yang melahirkan ibu kita ber marga A, perempuan bermarga A baik keluarga dekat atau tidak, tidak diperbolehkan saling menikah.

5. MARBORU NAMBORU / NIOLI ANAK NI TULANG
Larangan berikutnya adalah jika laki-laki menikahi boru (anak perempuan ) dari Namboru kandung dan sebaliknya, jika seorang perempuan tidak bisa menikahi anak laki-laki dari Tulang kandungnya.


Kisah Simamora (Bagian 1)

Kisah Simamora adalah kisah yang sangat menarik dan mendidik. Banyak cerita dari Simamora yang diketahui oleh masyarakat. Mungkin sebagian dari pembaca pernah mendengar istilah “Simamora Na oto” atau Simamora yang bodoh. Artikel ini tidak bermaksud menghina atau melecehkan marga tersebut, Sayangnya banyak versi yang beredar di masyarakat yang terkadang malah berbau negatif.
Artikel kali ini mencoba mengupas salah satu cerita mengenai Simamora yang menjadi asal usul istilah “Simamora Na oto” yang sering dilekatkan pada marga tersebut. Bagaimana sebenarnya hal ini bisa terjadi? Berikut ini, Kisah Simamora Bagian Pertama.
***
Simamora menikahi seorang gadis bernama “Tuanlaen”. Dia adalah istri pertama Simamora, namun sayang, keluarga ini tidak memiiki keturunan karena Tuanlaen mandul. Namun demikian, hubungan diantaranya tetap akur. Simamora tidak pernah menuntut banyak dari istrinya. Sedangkan istrinya, Tuanlaen sering merasa sedih karena tidak bisa memberikan keturunan kepada Simamora. Sebagai orang batak yang menganut system kekerabatan Patriliniar, maka kehadiran seorang putra sangatlah diharapkan untuk dapat meneruskan marga pihak laki-laki, karena itu Tuanlaen sering menyesali dirinya yang tidak berguna dan disebutnya sebagai “lapung”.
Beberapa kali , Tuanlaen sering meminta agar Simamora menikah lagi. Namun Simamora tidak pernah tertarik untuk menikah lagi.
“Terima saja. Anggaplah ini sebagai nasib kita.” Jawab Simamora setiap kali Tuanlaen mengajukan sarannya.
“Tapi kalau kau menikah lagi, nasibmu akan berubah.”
“Siapa yang bisa menjamin?”
Mendengar itu, Tuanlaen menjadi senang dan merasa bersyukur telah mendapatkan suami yang setia.
Setelah adik laki-lakinya meninggal, Simamora mengambil usul untuk merawat keempat anak adiknya. Dengan cara menikahi adik iparnya. Cara ini dikenal dengan ganti tikar sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap saudara. Mereka lalu tinggaL di daerah Tipang, Bakkara.
Awalnya kehidupan mereka berjalan baik. Tuanlaen merawat keempat anak nya seperti anak sendiri, sedangkan istri baru Simamora merasa senang karena telah terbantu. Simamora pun tidak pernah pilih kasih kepada kedua istrinya.
Namun setelah anak-anak ini besar, situasi memburuk. Keempat anaknya lebih menyayangi ibu kandungnya. Keadaan membuat hubungan kedua istri ini memburuk, bahkan semakin lama keduanya semakin sulit berkomunikasi.
SIMAMORA DAN PEDAGANG GARAM.
Simamora adalah pedagang garam. Ia sering bepergian untuk waktu yang lama meninggalkan keluarganya untuk berdagang garam. Garam -  garam ini diambilnya pesisir barat Sumatera untuk dijualnya ke beberapa  pasar yang dilaluinya seperti Pahae, Sipirok, Silindung, Doloksanggul dan jika dagangan masih tersisa, ia akan menjualnya di Bakkara di pinggir Danau Toba. Bakul tempat garamnya diletakkan di atas kuda beban yang menjadi tunggangannya.
Simamora adalah orang yang ramah, dan jujur dalam berdagang. Banyak dari orang – orang yang bertemu dengan dia merasa senang berdagang  kepadanya. Oleh karena itu, Simamora punya banyak langganan dan kenalan.
Berdagang garam tidaklah selalu mudah. Hujan menjadi masalah yang paling utama. Ketika hujan turun, kuda – kuda akan menjadi bebal dan tidak mau melanjutkan perjalanan. Dan bakul tempat garam pun tidaklah cukup bagus. Bakul itu terbuat dari anyaman daun kelapa sehingga kurang aman dari air. Kalau sudah begini, Simamora biasanya harus menginap di rumah – rumah warga di kampung yang dilaluinya.
Suatu hari, Simamora bertemu dengan dua orang yang sama – sama berdagang garam. Seiring berjalan waktu, ia semakin kompak dengan keduanya dan sering pergi berjualan bersama. Simamora sendiri merasa beruntung mempunyai teman berdagang, selain dia punya teman untuk diajak bicara selama perjalanan, ia juga merasa terbantu untuk hal lain. Terkadang jika musim hujan tiba, sungai – sungai meluap. Untuk menyebrangi sungai, mereka harus menarik kuda beban karena kuda tidak mau menyebrangi sungai. Terkadang kuda ini sangat bebal sehingga harus ditarik oleh dua orang atau lebih.
Sepanjang perjalanan, Simamora mendapat pelanggan lebih banyak dari kedua rekannya, karena Simamora dianggap orangnya  lebih jujur dan jualannya juga tidak terlalu mahal. Hal ini mengundang kecemburuan bagi kedua rekannya. Sering keduanya menggerutu karena tidak mendapat pelanggan. Terkadang mereka harus menunggu sampai dagangan simamora habis, baru mereka kebagian pelanggan.
Kekesalan ini semakin memuncak sampai suatu ketika mereka merencanakan untuk memberi Simamora pelajaran.
Pada suatu sore, Simamora bersama kedua rekannya terpaksa menginap di warung kopi di satu desa sebelum masuk pasar Doloksanggul karena hujan sedang turun. Warung itu kosong pada malam hari. Pemiliknya tinggal di kampung lain, agak jauh dari tempat itu. Setelah bakul garam diturunkan dari punggung kuda, mereka menambatkan kuda-kudanya di dekat rerumputan sekitar warung. Mereka bercengkrama sambil melinting tongkol jagung yang dijadikan rokok.
Kedua rekannya yang sudah lama mencari kesempatan untuk mencelakai Simamora merasa kalau inilah waktunya untuk memberinya pelajaran. Mereka berencana untuk mencuri kuda dan garam – garam Simamora selagi dia tidur. Dengan demikian, ia tidak bisa berjualan garam lagi. Berkuranglah saingan.
Malamnya, kedua rekannya itu menyarankan agar sebaiknya mereka bergantian jaga. Dua orang tidur sedangkan seorang lagi jaga. Demikian lah bergantian hingga pagi tiba.
“Apa perlu begini ? Toh, selama ini juga tidak pernah terjadi apa-apa” kata Simamora.
“Itu tidak menjamin kalau disini aman selamanya.” Jawab mereka.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita menyembunyikan garam masing-masing.” Usul Simamora.
“Dimanapun kau menyembunyikannya, garammu pasti bisa ditemukan di warung yang sekecil ini.”
“Tidak mungkin bisa ditemukan.” Jamin Simamora.
“Aku tidak yakin. Bagaimana kalau aku bisa menemukan garammu?” Tanya seorang.
“Garamku menjadi milik kalian.”
“Kalau tidak ?” Tanya seorang lagi.
“Garam kalian menjadi milikku.”
“Baik.” Ketiganya pun sepakat. “Sembunyikanlah garammu.” Kata mereka.
Lalu simamora pergi membawa garamnya. Tidak sampai dua menit ia sudah kembali. Kedua rekannya lalu menyalaminya tanda perjanjian sah.
“Bagaimana kalau kuda kita pertaruhkan juga?” Usul mereka berdua karena merasa yakin garam tersebut tidak jauh disembunyikan mengingat waktu yang diambil Simamora tidak lama.
“Boleh juga” tantang Simamora
“Baiklah” sambut mereka.
Malam itu Simamora tidur dengan lelapnya. Seperti tidak ada yang sedang dipikirkannya. Berbeda dengan kedua rekannya yang tidak sabar menunggu pagi tiba. Mereka yakin sekali garam itu disembunyikan di dapur. Mereka ingin sekali langsung mencari garam tersebut dan membawa kuda Simamora pergi. Tapi mereka harus berlaku adil sesuai perjanjian.
Pagi – pagi benar mereka sudah bangun. Ingin rasanya cepat – cepat menemukan garam tersebut. Akan tetapi untuk menunjukkan kalau mereka berlaku adil, mereka menunggu hingga Simamora bangun. Setelah simamora bangun, ketiganya melinting rokok. Lalu masing – masing menikmatinya tanpa ada yang berselera memulai bicara. Rokok semakin pendek dan setelah api rokok menyentuh jari, keduanya mengingatkan simamora tentang kesepakatan mereka.
“Silahkan cari.” Kata simamora singkat.
“Sebaiknya kita naikkan dulu beban kuda kita.” Kata seorang
“Bagus juga.” Balas yang seorang lagi. “Kuda yang ketiga tinggal dimuat lalu dituntun.”
“Aku khawatir kalian tidak kembali lagi karena malu.” Simamora tersenyum simpul.
Keduanya tidak menjawab. Mereka langsung bergegas. Mereka memulainya dengan menyisir dapur, sekitar rumah, hingga kebun. Dapur penuh dengan barang – barang yang ditumpuk begitu saja. Ternyata tidak ada. Di kebun, sekitar sumur hingga sekitar kampung juga tidak ada. Mereka kembali ke dapur membongkar barang-barang yang ditumpuk. Tetapi tetap tidak ketemu.
“Dua menit. Mungkinkah keluar kampung?” Tanya yang satu.
“Kalau berlari, bisa juga…” sahut yang satu sambil menggaruk – garuk kepalanya.
Lalu mereka memeriksa bambu bambu pembatas kampung. Tetapi tetap saja tidak ada. Semak belukar, tumpukan sampah juga tidak lepas dari penggeledahan mereka. Tanpa disadari mereka sudah cukup jauh keluar dari desa.
Setelah menunggu cukup lama, Simamora memeriksa. Tetapi rekannya belum kembali juga. Hanya ada tukang warung yang baru sampai dan sedang menjerangkan air dari sumur. Si Tukang warung merasa heran melihat banyaknya barang yang berantakan di dapur. Sebelum ia sempat menanyakan tentang barang – barang tersebut, Simamora telah pergi membawa kedua kuda dan garam – garam rekannya itu.
Walau kaget dengan kondisi dapur yang berantakan, si pemilik warung tidak langsung memeriksanya. Ia terlebih dahulu menjerangkan air karena pagi – pagi biasanya banyak pengunjung yang ingin minum kopi.  Tukang warung memeriksa dapur yang diobrak – abrik entah oleh siapa. Dan entah untuk apa. Ia tidak melihat adanya barang – barang yang hilang. Untuk memastikan perasaannya, ia menghitung seluruh jumlah karung padi di lumbung, kemudian alat – alat pertanian, tidak ada yang hilang. Sambil mengira – ngira apa yang telah terjadi, ia merapikan barangnya.
Air telah mendidih dan dia segera melayani langganannya. Tanpa menceritakan kejadian di dapurnya. Tak lama kedua pedagang yang kalah taruhan telah kembali. Mereka mendapati kalau Simamora sudah pergi bersama kuda – kuda dan keempat bakul garam yang telah dimenangkannya.
Saat itu di warung sedang ada desas desus antara pengunjung. Keduanya yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tidak terlalu memperdulikannya.
“Kopi dua !” pesan mereka.
Tak lama berselang seseorang diantara pengunjung angkat bicara.
“Koq kopinya asin?” katanya
Kedua pedagang yang mendengar hal itu saling berpandangan. Seperti akan mengatakan sesuatu. Buru – buru keduanya mencicipi kopi mereka.
“Benar ! Kopinya asin !”
“Sungguh, disini tidak ada tempat garam.” Kata yang punya warung. “Gelas dan sendok sudah saya cuci. Mana mungkin bisa asin?”
“Jangan – jangan…” gumam seorang pedagang itu.
“Jangan – jangan simamora menyembunyikan garam di dalam sumur !”
Keduanya langsung melompat dari tempat duduknya dan memeriksa sumur di belakang warung. Galah dijulurkan ke dalam dan dua buah bakul berhasil diangkat dari dalam. Warga di sekitar mengenali bakul tersebut sebagai bakul garam yang biasa dibawa Simamora.
“Lihat !” Kata salah satu pedagang tersebut. “Ini bakul Simamora. Dia benar – benar bodoh, menyembunyikan garam di dalam sumur.”
“Kenapa ?” Tanya seorang dari kerumunan itu.
“Karena dia takut garamnya dicuri orang.” Jawab rekan pedagang itu.
“Bodoh benar (oto ma i)” piker orang – orang di warung itu.
“Memang bodoh” ucap kedua pedagang itu. Mereka melakukannya untuk menyembunyikan kemalangan mereka yang telah kalah taruhan.
Berita tentang garam masuk sumur ini langsung cepat menyebar. Kedua pedagang ini juga menceritakan tentang “simamora yang bodoh” (Simamora na oto) kepada setiap orang yang ditemuinya. Namun tidak pernah menceritakan bahwa Simamora yang membodohi mereka.


Kisah Simamora (Bagian Kedua)

Bulan Menjadi Dua
Di perbatasan Silindung dengan Pahae, tinggallah seorang pemilik kebun yang kaya raya. Dia dipanggil Nalobian. Menurut pengakuannya, dialah yang paling kaya di daerah tersebut. Selain kaya, Nalobian juga mengklaim dirinya paling pintar, paling tampan, paling segalanya. Paling ditakuti dan paling berpengaruh di Desa Pahae.
Na lobian, dalam bahasa setempat berarti “yang berlebih” adalah gelar yang sangat dibanggakannya. Banyak penduduk desa dan pemuda rantau yang bekerja di kebunnya.Adayang menggarap tanahnya dengan system bagi hasil, banyak pula yang bekerja sebagai buruh upahan.  Orang –orang desa sebenarnya tidak senang melihatnya. Tapi tidak ada yang berani menentangnya.
Adalah sebuah kebiasaan buruk yang sudah berlaku lama di desa itu. Apabila Nalobian sedang minum di warung manapun, tidak ada yang berani memesan apapun. Dan tukang warung pun tidak berani melayani mereka. Mereka harus menunggu Nalobian selesai. Selama Nalobian masih berada di warung, biasanya tidak seorangpun yang berani mengangkat bicara. Mereka hanya boleh mendengar Nalobian membual tentang kelebihannya.  Setelah ia pergi barulah orang – orang memesan dan suasana warung boleh ramai, bebas dan santai.
Pada suatu sore, Simamora singgah di warung dimana Nalobian sedang minum kopi. Ketika itu banyak orang desa yang duduk di bangku – bangku panjang dengan sikap tegang.  Mereka mendengar Nalobian membual tanpa berani member tanggapan. Hanya terlihat beberapa orang yang sesekali mengangguk – angguk. Itupun bukan berarti mereka memahami atau mengamini ucapannya. Anggukan mereka hanya gerakan kepala biasa tanpa makna.
Meja disamping mereka kosong. Simamora langsung bergabung dengan mereka setelah menambatkan kudanya di salah satu pohon di samping warung dan meletakkan bakulnya agak di bagian dalam warung. Sore itu cuaca panas. Simamora merasa haus setelah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan. Sebelum duduk ia memesan minumannya,
“Kopi satu !”
Pelayan warung tidak bereaksi. Hanya terlihat kikuk mendengar suara Simamora.
“Kopi!” Simamora mengulangi pesanannya dengan suara yang lebih keras dan lebih tegas.
“Oh… ia Kata pelayan warung itu tanpa bergeming dari tempat duduknya.
“Pelayanannya kok lambat benar…” gerutu Simamora.
“Bukan lambat, anda saja yang tidak mengerti.” Bisik pelayan tersebut sembari meletakkan kopi pesanan Simamora di mejanya.
“Maksudmu?” Tanya Simamora yang kebingungan.
“Apa anda tidak melihat Nalobian sedang minum?” Tanya penjaga warung sambil megarahkan pandangannya kepada orang yang dimaksud.
“Apa hubungannya?” simamora kembali bertanya.
“Disini tidak ada yang berani minum selama Tuan Nalobian belum selesai.” Jawab seseorang dari kumpulan yang sedang minum itu.
Mendengar itu, Simamora merasa jengkel juga. Ingin rasanya memberi pelajaran kepada orang yang dipanggil Nalobian itu. Nalobian sendiri dengan sengaja memperlambat menghabiskan minumannya. Setelah meneguk sedikit kopinya, ia kemudian meletakkannya lalu merentangkan kedua tangannya. Nalobian bersantai.
“Kenapa mesti begitu?” Simamora bertanya lagi.
Pelayan warung lalu menjelaskan, “Siang harikanhanya ada satu matahari.”
“Terus…?” Tanya Simamora
“Malam hari juga hanya ada satu bulan. Dan disini juga hanya ada satu Nalobian….”
Sebelum pelayan selesai bicara, Simamora langsung memotongnya.
“Pantas…Ternyata desa ini orang – orangnya masih kolot.”sela Simamora sambil meluruskan kakinya setengah bersandar.
“Apa Maksudmu ?” Nalobian yang dari tadi hanya diam sekarang angkat bicara.
“Maksudku orang – orang disini masih sulit maju karena belum pernah melihat bulan ada dua” Sahut Simamora.
“Bulan ada dua?”
“Iya…”
“Sekaligus ?”
Ya… Bulan ada dua sekaligus.” Simamora mempertegasnya. Mendengar itu, Nalobian merasa tertantang.i desa ini belum pernah ada yang lebih pintar dari dirinya. dia merasa dipermalukan di depan warganya sendiri.
“Orang desa ini yang kolot, Apa kau yang bodoh?” Tanya Nalobian dengan suara lantang.
“Aku sanggup membuktikan apa yang aku katakana.” Sahut Simamora datar.
“Berani taruhan?”
“Aku tidak punya barang berharga untuk dipertaruhkan.”
“Baik, Begini saja.” Kata Nalobian penuh nafsu. “Kalau kau tidak sanggup memperlihatkan dua bulan sekaligus, kuda dan semua barangmu aku ambil. Dan kaupun akan menjadi budakku. Selamanya !” tawar Nalobian.
“Kalau aku sanggup? Bagaimana?” Tanya Simamora.
“Semua hartaku menjadi milikmu.” Sahut Nalobian.
Mendengar itu semua orang yang berada di warung terperanjat. Mereka sepertinya tidak percaya apa yang mereka dengar. Masing – masing membetulkan cara duduknya sambil memasang telinga.
“Baik. Malam ini akan aku buktikan.” Janji Simamora.
Dengan muka merah padam dan wajah penuh dendam Nalobian meninggalkan warung tersebut sambil berpesan agar warga dating sebagai saksi.
“Pasti !” Teriak mereka serentak.
*   *   *
Malam itu bulan berada di atas kepala. Orang – orang sudah berkumpul di sekitar warung. Jumlahnya jauh lebih banyak dari pagi tadi. Mereka ingin menyaksikan pertarungan dua orang pintar dengan pertaruhan yang cukup menakjubkan. Apalagi yang bertaruh pada malam itu adalah Nalobian yang mereka kenal memiliki banyak harta berlebih namun pelit dan angkuh. (Ya ialah, masa ada orang kaya minum kopi di warung?)  Hampir seluruh warga mendengar bahwa Nalobian mempertaruhkan seluruh hartanya. Sebagian orang merasa pesimis Simamora bisa memenangkan pertaruhan ini karena mereka tidak pernah melihat bulan muncul dua buah sekaligus.
“Apa menurutmu Simamora itu bisa membuktikan kata – katanya?” Tanya seseorang diantara kerumunan kepada seorang lain.
“Ya, berharap saja besok kita tidak kolot lagi…” Jawabnya setengah meledek.
Setelah Nalobian tiba di warung tersebut, para warga langsung meminta Simamora membuktikan kata – katanya. Bahwa bulan terbit dua buah sekaligus.
Dengan tenang Simamora mengeluarkan sebuah ember besar yang ditutupinya dengan pohon pisang. Dia meletakkan ember tersebut diatas meja yang terletak di luar warung. Para warga yang hadir mengerumuni meja tersebut. Simamora dan Nalobian berdiri berhadapan di kedua sisi meja. Orang – orang semakin mendekat tetapi tidak  seorangpun yang berkomentar. Mereka menunggu siapa diantara mereka yang akan menanggung malu. Tanpa ekspresi yang berarti Simamora menunjuk bulan di langit dengan satu jari. Dengan spontan orang – orang yang hadir di sana berteriak;
“Satu !”
“Iya,” Sahut Nalobian geram. Setelah membuka daun pisang, Simamora menunukkan ke arah ember dengan dua jari. Nalobian kaget ! Dia mundur selangkah, Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Selang beberapa detik ia mendengar warga berteriak, “Dua !!!”
Serentak seluruh warga yang hadir bertepuk tangan menyambut kemenangan Simamora. Melihat kenyataan itu, Nalobian tertunduk lemas di kursinya. Dia hampir pingsan.
“Sita … ! Sita … !” Teriak sebagian warga. Mereka meluapkan kedongkolan yang selama ini terpendam di hati mereka. Inilah saat yang tepat untuk menghapus kesombongan Nalobian dari desa itu.
Simamora mengangkat kedua tangannya menentramkan massa yang berjubel itu.
“Aku tidak punya bakat menjadi orang kaya. Biarlah ia mengurus sebagian hartanya. Akan tetapi hak atas tanah, hutan kemenyan harus dilepas. Menjadi milik umum. Tanah yang disewakan diserahkan kepada orang yang menggarapnya. Dan yang terpenting,” Tambah Simamora.  “Hak untuk dilayani sendiri di warung harus dihapuskan !”
“Setuju ! Setuju ! Setuju !” Warga berteriak kegirangan menyambut keputusan Simamora.
Dan sejak itu warga desa mempunyai hak yang sama atas tanah, kebun, hutan dan lain – lain. Suasana di warung pun sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang mereka bebas memesan minuman dan bebas berbicara tanpa ada yang harus ditakuti. Sedangkan untuk Nalobian ? Hmmm……. Anda sendirilah yang tebak.
Dikutip dari : Roha 3 – Kisah Simamora Karya B.H Situmorang


Anak Sasada, Film Berbahasa Batak Pertama di Indonesia

Liputan6.com, Medan: Film berjudul Anak Sasada merupakan film pertama yang menggunakan bahasa Batak Toba, dalam format layar lebar yang mengisahkan tentang kemiskinan dan pendidikan orang di desa yang harus merantau ke kota.
“Para pemain film itu tidak seluruhnya berasal dari etnik Batak Toba. Tetapi ada juga suku Melayu, Jawa dan Simalungun,” kata Thompson HS, penulis skenario film ini, Selasa (24/5).
Produser dan sutradara film tersebut adalah Pontianus Gea, pria seorang suku Nias yang pernah studi film di Italia selama dua tahun. Menjadi kejutan yang menarik, ketika seorang di luar suku Batak tertarik membuat film berbahasa Batak Toba, sekaligus membiayainya.

Dia menyebutkan, para pemain yang tidak seluruhnya orang Batak tersebut sangat tertarik untuk belajar bahasa Batak, dibantu penyelaras bahasa, Manguji Nababan, seorang Batakolog.
Rekomendasi lokasi syuting, lanjutnya, dilakukan atas kepercayaan produser, dengan total skenario yang murni menggunakan bahasa Batak Toba, meskipun dengan sedikit campuran dialek yang bisa ditemukan dalam percakapan orang Toba selama ini.
“Pembuatan film ini dibantu sejumlah kru orang Nias, yang pernah mengenyam pendidikan lebih maju, sebagai upaya adaptasi film berjudul Ono Sitefuyu yang meraih sukses di pasaran,” katanya.
Pengambilan gambar tersebut dilakukan di Kota Balige dengan latar belakang kapal “paronan” (pedagang) dari Bakkara, 24 -26 Mei 2011. “Syuting terakhir akan dilengkapi diskusi dan pemutaran cuplikan film di SMU Negeri Plus Yayasan Soposurung Balige, 26 Juni 2011,” kata Thompson.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar